Saturday, December 15, 2007

Terang Bulan

Ifa (5 tahun) di Sorowako (Luwu Timur) bercakap via telepon dengan tante Niar di Makassar:

Ifa: “Tante Niar, Ifa lagi makan terang bulan keju”

Tante Niar: “Kirimi tante Niar, ya?”

Ifa: “Boleh, nanti Ifa kirimi. Tapi kalau habis jangan marah ya?”

Tante Niar: “Oh, tidak sayang. Makan saja sampai Ifa kenyang. Ada koq terang bulan dijual di Makassar”

Ifa: “Ifa tahu!”

Tante Niar pun tersenyum keki.

Desember 2007

Surat

Affiq (6 tahun) menulis pada 2 buah kertas. Kemudian kedua kertas tersebut dilipatnya hingga menyerupai amplop (kertas surat & amplopnya 2 in 1). Kemudian ia menulis di bagian depan: “Untuk Ifa dan Faqih” (sepupunya di Sorowako) dan “Dari Affiq dan Athifah” (Athifah, adik Affiq baru berusia 1 tahun).

Bunyi isi surat pertama adalah: “TEBAK SIAPA SAYA”.

Sedangkan isi surat kedua berbunyi: “SAYA AFFIQ”

November 2007

Ragu - Ragu

Ifa (5 tahun) bertanya pada mama yang sedang berbicara di telepon dengan seseorang: “Mama, siapa itu?”. “Tante Niar, Nak”, jawab mama.

Ifa berkata lagi, “Mama, Ifa ragu-ragu bicara dengan tante Niar”.

Sesaat mama tertegun takjub mendengar kosa kata baru Ifa.

Selang tidak berapa lama kemudian Ifa bertanya, “Mama, apa itu ragu-ragu?”.

Desember 2007

Pembatas Halaman

Affiq (6 tahun) membuka-buka sebuah buku.

Affiq: “Mama, tanda bacanya Mama saya kasih pindah ya?”

Mama: “Jangan Nak, Mama lagi baca yang itu”

Affiq: “Ini yang Mama baca halaman 48, saya kasih pindah ke halaman 47. Nanti kalau Mama mau baca, Mama kasih pindah lagi ke halaman 48!”

Mama: “?!?!?!?!?”

Desember 2007

Mandi Rinso

Saat Affiq berusia 4 tahun, kulitnya semakin gelap hingga ia sering diisengi lato’nya (kakek, bahasa Bugis): “Kalau berendam, pakai rinso supaya jadi putih ko”. Setiap diisengi demikian, mama selalu berusaha meluruskan bahwa lato’nya hanya main-main saja. Kalau mau mandi harus dengan sabun mandi sebab jika dengan sabun cuci, kulit akan gatal-gatal.

Setelah itu Affiq akan berujar, “Ini Ato’, ngomong sembarang”.

Suatu saat, saya lupa membuang air bekas bilasan cucian dari baskom yang saya gunakan. Tiba-tiba saja saat saya sadar, Affiq sudah berendam di dalamnya. Saat saya tanyakan mengapa ia berendam di situ. Affiq menjawab, “Ato’ bilang berendam di sini bagus ...”

Desember 2007

Affiq Punya Adik

Mama hamil anak kedua sewaktu Affiq berumur 5 tahun. Saat ‘sosialisasi pertama’ pada Affiq, mama dan papa menginformasikan tentang kehadiran janin di perut mama yang sudah mulai membuncit. Inilah komentar Affiq waktu itu: “Mama makan bayi?”. “Tidak Nak Tuhan yang taruh adik di perut Mama”. Tetapi Affiq yang belum memahami konsep ‘hamil’ terus melantunkan kalimat ini berulang kali, “Mama makan bayi ...”.

Affiq ikut menginap di rumah bersalin. Saat lato’nya (kakek, bahasa Bugis) mengajak pulang, ia malah berujar, “Ato’ saja yang pulang, ambilkan saya baju ganti dan handuk. Saya mau bobo di sini”.

Maka kewaspadaan pun ditingkatkan. Sejak itu Affiq seperti mendapat barang baru yang dengannya ia antusias bereksplorasi dan bereksperimen. Melompat-lompat di sekitar sang adik yang ia sapa “Bayi”, mencoba menggendong, hingga mencoba menyusuinya.

Tiba-tiba suatu hari ia bertanya, “Mama, saya tidak lihat waktu Athifah lahir. Dia keluar dari mana?”. Mama gelagapan. Kata papa, bilang saja “Dari antara 2 ibu jari kaki”. Tetapi rupanya Affiq punya jawaban sendiri. Ia berkata, “Athifah keluar dari pantat, Mama?” ...

Suatu saat, mungkin karena merasa sudah cukup besar untuk menggendong Athifah, ia bertanya, “Mama, kapan Saya bisa menggendong Athifah?”. Mama berpikir cukup panjang sebelum menjawab: “Nanti Nak, saat usiamu 20 tahun!”. Affiq tidak protes. Ia belum tahu bilamana saat itu tiba, walaupun dipaksa ia pasti tidak akan mau menggendong Athifah karena saat (insya Allah) ia berusia 20 tahun, Athifah berusia 15 tahun!

Desember 2007

Saat Indah Berbagi Kasih Dengan Si Buah Hati

Seperti biasa, tidak ada puasnya saya ciumi Athifah. Bau khasnya di saat belum mandi seperti ini … mmm nikmat sekali merasuki penciuman saya. “Mandi, Nak” kata saya. Ia menatap saya seraya memegang celananya, “Pipis” katanya. Athifah sangat menikmati acara mandinya. Usai mandi dan berpakaian, kembali saya memuaskan indera penciuman saya … mmm … tak kalah nikmatnya dengan bau yang tadi hanya bedanya kali ini bau khasnya telah berbaur dengan wangi minyak telon dan aroma sweet floral dari cologne gel salah satu produk. “Nenen, Nak”, ajak saya. “Nenen”, ulangnya dengan mata berbinar.

Seperti biasa, kami menikmati prosesi menyusui ini. Saya baringkan ia, menyodorkan puting ke arahnya, dan ia menyambutnya dengan lahap. Bibir saya pun mengalunkan syahadat, salawat, al-Fatihah, dan ayat kursi, ‘kidung resmi’ saya sejak pertama kali menyusuinya.

Tidak terasa usianya sudah setahun. Masih jelas dalam ingatan saya saat pertama Athifah menyusu dengan lahap, beberapa menit setelah kelahirannya. Athifah membuktikan pernyataan yang pernah saya baca bahwa bayi yang baru lahir jika tidak lebih dari sejam sejak kelahirannya disusui maka refleks mengisap yang sudah terjadi sejak masih dalam kandungan akan dengan cepat ia lakukan sehingga ia bisa menyusu dengan baik. Saat itu setelah menolak tawaran susu formula dari bidan - masih dalam ruang bersalin, beberapa saat setelah kelahirannya ia sudah mampu menyusu dengan lahap, begitu pun sampai beberapa hari setelahnya hingga tiba saatnya kami pulang ke rumah.

Siang hari, Affiq si sulung berusia 6 tahun pulang sekolah. Athifah dibangunkan oleh lengking suara kakaknya yang melongok ke dalam kamar. “Tata”, katanya dengan ekspresi ceria.

Lomba Minum Susu

Melihat ‘kecepatan’ Affiq minum susu selama ini, saya jadi punya niat mengikutkannya lomba minum susu. Akhirnya kesempatan itu datang juga. Suatu sore saat saya dan suami berbelanja di pasar swalayan dalam sebuah plaza yang baru buka, kami melihat pengumuman lomba minum susu dengan syarat-syarat yang sangat mudah: hanya perlu menyertakan bukti berupa struk belanja di pasar swalayan tersebut dan tanpa dipungut biaya apapun kami sudah berhak memperoleh satu nomor peserta. Semua peserta lomba malah dijanjikan mendapatkan hadiah dari beberapa sponsor, dengan sponsor utama salah satu produk susu anak-anak terkenal.

Esok harinya kami bertiga berboncengan naik motor ke plaza itu. Tidak disangka ternyata jumlah peserta lomba hampir mencapai bilangan 500 anak yang kesemuanya dibagi dalam 2 kelompok usia: A(4–6 tahun) dan B(7–10 tahun). Affiq masuk dalam kelompok A dan ia mendapatkan nomor dada 33. Panitia terlihat berusaha menyelenggarakan lomba sebaik mungkin. Sayangnya karena pekerjaan mereka tidak terkoordinasi dengan baik, durasi waktu lomba berlangsung sangat panjang karena semua teknis acara berlangsung ‘seri’, padahal sebenarnya banyak kegiatan yang bisa dilaksanakan secara ‘paralel’ dengan pembagian tugas yang baik.

Cukup lama juga menunggu giliran Affiq. Saya berusaha menjaga perasaannya, jangan sampai ia bosan dan merajuk. Saya berusaha mengkomunikasikan aturan lomba padanya sebaik mungkin. Beberapa ibu belum apa-apa sudah sedemikian menekan anak-anak mereka. Seolah-olah ini olimpiade sains internasional. Atrium mungil berisi beberapa peralatan dan mesin permainan anak di lantai dasar plaza terasa pengap, sesak oleh ratusan orang. Ada peserta yang bahkan diantar oleh ibu dan 4 saudaranya!

Di babak penyisihan pertama Affiq berlomba dengan 9 anak lain. Ia berhasil menghabiskan 3 cup mungil susu dengan baik. Walaupun bukan ia yang tercepat, namun karena ia minum tanpa meninggalkan ceceran noda di atas meja, ia berhasil memenangkan tahapan itu. Senyum bangganya terkulum saat saya memujinya. Di babak penyisihan kedua, Affiq mulai terlihat jenuh. Hiruk-pikuk seliweran orang membuat saya lupa mengulangi penjelasan detil aturan lomba pada Affiq. Affiq mulai gugup memperhatikan 2 cup di depannya yang digeser ke sana ke mari oleh panitia saat mengatur meja. Cup pertama ia minum dengan hati-hati namun ia bingung dan makin gugup saat hendak memegang cup ke-2 apalagi saat teriakan instruksi terdengar dari mana-mana. Alhasil ia kalah. Dan tangisnya pun pecah seolah memecah beban pikirannya. “Saya tidak mau kalah!”, teriaknya beberapa kali. Kami menenangkannya di luar plaza. Kami tunjukkan walau kalah kami tetap sayang padanya. Akhirnya senyum cerianya tampak saat menyantap ayam goreng kegemarannya di restoran di sudut plaza.

Saya percaya Affiq belajar banyak hari itu, bahwa walaupun ambisi diperlukan namun sportifitas harus diutamakan dan di atas segalanya, kami tetap menyayanginya tanpa peduli ia menang atau kalah.

Anak - Karunia Tak Terhingga

Secara medis, saya dan suami sulit memiliki anak. Berdasarkan hasil pemeriksaan dokter spesialis kandungan di awal pernikahan kami, masing-masing dari kami memiliki masalah spesifik yang membuat kami berdua sama-sama sangat jauh dari subur. Saat itu dokter sampai memberikan gambaran mengenai inseminasi buatan dan program bayi tabung yang mungkin harus kami jalani.

Menjelang 1 tahun usia pernikahan kami, saya dan suami menjalani semacam terapi dengan obat-obat penyubur, selain itu dokter juga meminjamkan kami Maybe Baby - alat pengetes masa subur. Mulanya saya hanya mendapatkan dosis 1 x 1 Profertil (obat penyubur). Bulan-bulan berikutnya dosisnya ditingkatkan oleh dokter hingga 1 x 3. Dari cerita teman saya, ia hanya perlu mengkonsumsi obat tersebut dengan dosis 1 x 1 sampai akhirnya hamil. Tetapi ternyata tidak demikian halnya dengan saya. Meskipun dosis obat tersebut ditingkatkan (sementara suami saya juga tetap mengkonsumsi obat), saya belum juga berhasil hamil.

September 2000, kami berobat secara alternatif pada seorang tabib. Saat itu semua obat dokter yang sedang dikonsumsi kami tinggalkan. Kami hanya berobat pada tabib tersebut dan pasrah pada ketentuan Allah. Bukannya mengecilkan pengobatan medis, hanya saja kami lebih memilih obat alami, tanpa efek samping sama sekali, lagi berkah (air putih yang dibacakan do’a). Alhamdulillah, mendekati penghujung tahun 2000 saya hamil dan melahirkan seorang bayi laki-laki yang sehat pada 9 Juli 2001, di saat pernikahan kami menginjak usia 2 tahun. Bayi itu kami beri nama Muhammad Affiq Khalid Ghiffari Solihin.

Kalau saat itu ditanya mengapa saya ingin punya anak, terus terang saya tidak tahu jawaban pastinya. Mungkin karena saya melihat betapa bahagia dan terlihat lengkapnya teman-teman saya yang telah memiliki anak, atau mungkin juga karena saya bosan ditanya sana-sini dengan pertanyaan yang isinya sama tetapi dilontarkan dengan redaksi berbeda-beda: “Sudah hamil?”. Belum lagi, ada yang merespon jawaban “Tidak” saya dengan kalimat “Koq bisa?”, dengan mimik yang menusuk hati. Yang jelas semua itu membuat saya berusaha untuk bisa hamil.

Kalau sekarang ditanya, bagaimana rasanya dititipi anak oleh Yang Mahakuasa, jawaban saya adalah nikmat luar biasa. Dan rasa nikmat itu tidak bisa saya ungkapkan seluruhnya dengan kata-kata, bahkan dengan semua kosa kata yang saya miliki karena nikmat itu sangat meresap dan membungkus hati saya dan sering membuat saya menitikkan air mata haru.

Mulai dari nikmat keberhasilan pemberian ASI eksklusif dalam 6 bulan pertama kehidupannya hingga apa yang saya rasakan sekarang saat Affiq sudah berusia 5 tahun. Saya merasakan manfaat luar biasa dari ASI eksklusif, terutama pada kesehatan Affiq. Dibandingkan bayi-bayi lain seusianya yang tidak mendapatkan ASI eksklusif, Affiq tumbuh lebih sehat dan tak kalah montoknya. Bahkan di saat saya dan suami beberapa kali terserang flu, ia tak tertular. Berat badannya juga bertambah dengan signifikan, rata-rata 1 kg per bulannya. Bulan demi bulan hingga berbilang tahun, perkembangan kecerdasannya menggembirakan. Alhamdulillah, di usia 3 tahun 4 bulan ia memperdengarkan saya kata pertama yang berhasil ia eja: “JANE”, kata itu tertera di kursi balitanya. Sambil bermain, ia memang saya ajarkan mengenal huruf sejak ia berusia setahun kemudian perlahan-lahan saya ajar mengeja melalui bermacam media termasuk komputer (di antaranya melalui software Power Point), juga sambil bermain. Hingga menjelang usia 4 tahun ia sudah bisa membuat file presentasinya sendiri dengan animasi yang diinginkannya. Sungguh nikmat menjadi orang pertama yang menyaksikan pertumbuhan dan perkembangannya, sejak ia tidak tahu apa-apa hingga ia mengetahui cukup banyak, sejak ia belajar berjalan hingga ia bisa berlari. Sejak ia belum bisa bicara hingga ia fasih mengoceh, menanyakan apa saja, dan bereaksi secara verbal dengan lontaran-lontaran yang tak terduga. Dan masih banyak lagi.

Menyelami kedalaman mata Affiq, sungguh kenikmatan luar biasa bagi saya. Nikmat yang tidak pernah berkurang rasanya sejak saya menatapnya sambil menyusui hingga di saat-saat sekarang ini, jika menatapnya yang sedang berceloteh riang tentang apa saja.

Menyaksikan keriangannya saat bermain, saat membuka lembaran buku kesayangannya, saat menggoda saya dan suami juga menciptakan kenikmatan luar biasa di hati saya. Pada kenyataannya, sungguh – saya tidak sanggup bercerita secara verbal semua nikmat luar biasa yang dianugerahkan Allah melaluinya. Segala nikmat yang tentu saja membuat saya merasakan makna menyandang predikat ‘ibu’.

Saya tidak pernah berobat secara medis lagi untuk bisa hamil setelah melahirkan Affiq. Baik saya maupun suami juga tidak menggunakan peralatan kontrasepsi dalam keintiman kami. Tetapi kami masih mengunjungi tabib pengobatan alternatif yang dahulu mengobati kami. Atas kehendak Allah, saya hamil di tahun 2006 ini. Betapa suka citanya kami. Di saat Affiq kami kabari tentang kehamilan saya, ia kelihatan berpikir. Kemudian, sambil menatap perut saya yang mulai membuncit terlontar pertanyaan ini dari mulut mungilnya: “Mama makan bayi?”. Saya bilang, “Tidak, Allah yang menaruh adik bayi dalam perut Mama”. Tetapi konsep ini masih sangat abstrak baginya. Berulang kali ia melantunkan kalimat ini: “Mama makan bayi …. Mama makan bayi …. “.

Affiq juga menciptakan cerita sendiri tentang ‘kehamilannya’. Ia ikut-ikutan hamil! Ia mengatakan di dalam perutnya ada bayi perempuan. Suatu saat terdengar bunyi yang berasal dari perutnya, ia berkata: “Perutku bunyi, bayinya sendawa”. Di saat lain, ketika ia sedang malas bergerak, ia berkata pada saya, “Mama, saya tidak bisa bergerak, saya hamil. Di perutku ada bayi”. Atau saat ia menginginkan jenis makanan tertentu, ia meminta kepada saya dengan dalih yang meninginkan makanan itu adalah bayinya!

Alhamdulillah kehamilan saya kali ini sangat nikmat. Walaupun dari bulan ke bulan perut saya makin membesar, saya masih bisa mengerjakan tugas-tugas kerumahtanggaan. Dan seperti kehamilan terdahulu, saya tidak punya masalah dengan ngidam. Nafsu makan saya bahkan biasa-biasa saja, demikian pula keinginan saya terhadap sesuatu pun biasa-biasa saja.

Hasil USG rahim saya pada tanggal 28 Juni 2006 menunjukkan janin dalam kandungan saya berusia 26 minggu 3 hari. Kemudian USG pada tanggal 26 Juli 2006 menunjukkan usia janin saya 30 minggu 3 hari, jenis kelaminnya sudah terlihat jelas. Waktu itu, hasil USG menunjukkan tanggal perkiraan melahirkan adalah 1 Oktober 2006. Mengenai jenis kelamin, saya dan suami menyerahkan saja sepenuhnya pada kehendak Yang Mahakuasa, kami tidak berani berharap banyak. Diberi kesempatan hamil saja sudah merupakan karunia yang tak terhingga bagi kami. Pasutri yang salah satunya saja kurang subur sangat sulit punya anak, apa lagi yang seperti kami ini, yang keduanya kurang subur. Yang subhanallah – ajaib, hasil USG pada tanggal 24 Agustus 2006 menunjukkan usia kandungan saya 36 minggu 2 hari, dan tanggal perkiraan melahirkan 18 September 2006! Masya Allah ... saya terkagum-kagum dengan hal ini. Allah mendiskon masa penantian saya sebanyak 2 minggu! Lalu, saat mendengar lantunan ayat suci dari pengeras suara masjid menggemakan ayat yang artinya: “Maka nikmat Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan ?”, air mata haru tergenang di sudut-sudut mata saya. Ya, nikmat mana lagi yang saya dustakan ? Tidak, tidak ada nikmat-NYA yang pantas saya dustakan apalagi nikmat dirahmati seorang anak laki-laki, dan sekarang ini diizinkan mengandung seorang bayi lagi ...

Saat ini saya masih mengkonsumsi susu berkalsium tinggi, secara bergantian yang rasanya plain atau vanila. Saya berharap bisa lebih baik lagi dalam menjalankan tanggung jawab sebagai seorang ibu dan Affiq bisa menerima kehadiran adiknya dengan baik. Dan, apakah ‘prediksi’ Affiq tentang jenis kelamin adiknya benar atau salah ... saat tulisan ini dibuat saya sedang menghitung hari ...

Makassar, 29 Agustus 2006

ASI – Bekal Tanpa Tanding untuk Anak Cerdas

Alhamdulillah, setelah menunggu selama 5 tahun sejak kelahiran Affiq anak pertama kami, Athifah Linnia Solihin hadir di tengah keluarga pada tanggal 24 September 2006 bertepatan dengan 1 Ramadhan. Berhubung ini pengalaman kedua, saya dan suami tidak setegang waktu pengalaman pertama dahulu. Kami sudah punya ‘patron’ dalam mendidik dan mengasuh anak yang akan kami terapkan pada Athifah mulai dari cara-cara merawatnya, asupan gizinya, peran saya dan suami sebagai orangtua dalam menstimulasi segala aspek kecerdasannya, hingga visi dan misi kami dalam pendidikannya.

Diri saya menyimpan harapan
, anak-anak saya menjadi anggota tim yang tangguh bersama saya dan suami untuk bersinergi dalam kehidupan di dunia dan akhirat. Dalam sinergi itu kualitas diri kami masing-masing seharusnya semakin baik dari hari ke hari sehingga segala urusan dunia dan akhirat diridhai Allah SWT.

Untuk itu mula-mula saya sadar sekali akan posisi saya sebagai guru pertama bagi anak-anak. Sejak sebelum Affiq lahir
, saya rajin mencari tahu melalui media cetak, elektronik, internet, dan pengamatan langsung tentang bagaimana membangun keluarga berkualitas, demikian pula suami saya.

Pengetahuan mengenai ASI (air susu ibu) adalah salah satu di antara sekian ‘ilmu’ yang saya peroleh. Pertumbuhan otak seorang anak mencapai 70% dari otak dewasa sejak dalam kandungan hingga usia 1 tahun dan mencapai 90% dari ukuran otak orang dewasa pada usia 3 tahun. Dalam periode tentu saja dibutuhkan stimulasi yang maksimal. Sejak hamil saya berusaha memberikan yang terbaik dalam hal asupan gizi di antaranya melalui susu yang saya minum begitu pun setelah melahirkan
, saya berusaha terus menyusui sambil memperhatikan asupan gizi, termasuk susu yang saya konsumsi.

ASI mengandung nutrien-nutiren khusus dalam komposisi ideal yang sangat berguna bagi pertumbuhan otak bayi manusia. Nutrien-nutrien khusus ini sedikit sekali atau malah tidak terkandung dalam susu sapi
, di antaranya: taurin (zat putih telur – hanya terdapat di ASI, juga berguna untuk pertumbuhan susunan saraf dan retina), laktosa (zat hidrat arang utama dari ASI, hanya sedikit terdapat dalam susu sapi), dan asam lemak ikatan panjang (DHA, AA, omega-3, omega 6, merupakan asam lemak utama ASI yang hanya sedikit terdapat dalam susu sapi). Hasil penelitian Dr. Lucas (1993) terhadap 300 bayi prematur menunjukkan bahwa bayi prematur yang hanya diberi ASI eksklusif mempunyai IQ lebih tinggi 8,3 poin dibanding bayi prematur yang tidak diberi ASI. Pada penelitian Dr. Riva (1997) ditemukan bahwa bayi yang diberi ASI eksklusif, ketika berusia 9,5 tahun mempunyai tingkat IQ 12,9 poin lebih tinggi dibanding anak yang ketika bayi tidak diberi ASI eksklusif[1]. Itu hanya sekelumit dari manfaat/kelebihan pemberian ASI pada bayi. Karena itu, seperti yang dahulu saya lakukan pada Affiq, saya berniat dan berusaha untuk memberikan ASI kepada Athifah sampai usianya 2 tahun.

Allah yang Mahapemurah mempermudah proses kelahiran Athifah. Athifah lahir secara normal hampir 3 jam setelah kedatangan saya di rumah bersalin. Sesaat setelah itu niat baik saya untuk menyusui mendapatkan cobaan.
Bidan yang menolong persalinan saya mencoba mempengaruhi saya untuk memberikan susu formula pada putri mungil kami. Hal ini dilakukan semata-mata karena pihak rumah bersalin sudah terlanjur membuka kemasan susu formula tanpa persetujuan kami. Bidan itu berkata, “Ibu, biasanya pada hari-hari pertama bayi yang kurang menyusu akan berwarna kuning. Ibu yakin tidak akan memberikan susu formula? Lebih baik bayi Ibu diberi susu formula supaya ia tidak kuning!”. Saya menjawab, “Tidak Sus, anak pertama saya dulu diberi ASI, dan saya akan berusaha menyusui bayi saya ini”. Bidan tersebut bukannya menyerah, ia malah masih mencoba berargumen supaya saya menerima usulannya namun saya dan suami (ia mendampingi saya selama proses persalinan) tidak goyah, kami tetap yakin keputusan menyusui buah hati kami adalah keputusan yang paling tepat.

Di antara rasa bahagia setelah melahirkan
, terselip sedikit rasa miris di hati saya. Betapa tidak, sungguh ironis, orang yang seharusnya membimbing para ibu yang baru melahirkan untuk memberikan bayi mereka ASI yang tentu saja the best new born baby’s feed in the world malah menyuruh saya memberikan bayi saya makanan ‘kelas dua’ di saat saya masih sulit berpikir sehat karena baru melahirkan! Syukurnya saya sudah mendapat pengetahuan memadai dan sudah punya pengalaman tentang ASI. Jadi saya bisa ‘memperjuangkan’ hak bayi saya untuk mendapatkan kolostrum yang mengandung antibodi dan antibiotika alamiah terbaik di awal hari-harinya di dunia ini.

Athifah sudah menyusui dengan lahap saat saya masih di ruang bersalin.
Di hari pertamanya di alam fana ini ia sudah pandai mengisap puting payudara saya. Benar pernyataan yang pernah saya baca bahwa refleks mengisap bayi baru lahir paling bagus dalam jangka waktu satu jam setelah kelahirannya. Ia akan mudah menyusui jika sesegera mungkin setelah kelahirannya mulutnya ditempelkan pada puting ibunya. Ini terbukti pada Athifah. Syukur pada Allah, selama di rumah bersalin ia mendapatkan kolostrum-nya secara maksimal.

Niat tulus saya untuk terus menyusui Athifah pada hari-hari berikut setelah kepulangan kami dari rumah bersalin bukannya tanpa cobaan. Beberapa kali saya mengalami bengkak pada payudara
, dan satu kali demam. Serta hari-hari yang melelahkan dalam proses menyusui, hal ini karena saya harus sering bangun tengah malam untuk menyusui dan ada sedikit masalah dengan ukuran puting saya yang masih terlampau besar untuk mulut bayi semungil Athifah. Tak jarang kami berdua menangis karena ia kesulitan mengisap puting saya. Namun Allah memang Mahapemurah dan Mahapenyayang, Ia pasti menciptakan segala sesuatu-Nya pada ‘ukuran’ yang tepat. Saya yakin, walaupun Athifah kesulitan mengisap puting namun karena ia darah daging saya, ia pasti bisa saya susui. Allah tidak mungkin salah dalam hal ini. Alhamdulillah, Ia mengabulkan do’a saya.

Kini Athifah sudah berusia 9 bulan. Saya berharap Allah tetap memberi saya jalan untuk terus menyusuinya. Pada kenyataannya ada nikmat-nikmat lain yang saya rasakan dalam proses menyusui yaitu mengalirnya perasaan bermakna telah menjadi seorang ibu yang diberi kemampuan untuk menyusui
, mengalami indahnya rasa yang menjalari hati kala menatap kedalaman beningnya mata Athifah saat ia begitu lahap menikmati air susu saya, dan saya merasa semakin mengenali serta memahaminya dari waktu ke waktu.

Ya Allah
, izinkan saya untuk terus menyusui Athifah, saya tak rela menukar nikmat-nikmat menyusui yang Engkau berikan ini dengan yang lain.

Makassar, 4 Juli 2007



[1] Dr. Utami Roesli, SpA., MBA.,CIMI.,Seri 1: Mengenal ASI Eksklusif, Trubus Agriwidya, 2000.

Saturday, December 01, 2007

SMS

Anak-anak balita sekarang sudah tahu yang namanya SMS. Begitu pula dengan Ifa. Suatu ketika, ia meminta mamanya meng-sms tante Niar.

Ifa : “Mama, tolong sms-kan tante Niar!”

Mama : “Ifa mau bilang apa?”

Ifa : “Ifa mau bilang: ‘Tante Niar apa kabar ? Baik-baik?’ ...”

Mama mengetik pesan Ifa.

Mama : “Terus apa lagi?”

Ifa : “Kakak Affiq apa kabar? Baik-baik?”

Mama : “Terus apa lagi?”

Ifa : “Adik Athifah apa kabar, baik-baik?”

Mama : “Terus?”

Ifa : “Om Chullink apa kabar, baik-baik?”

Mama tentu saja menuliskan pesan Ifa dalam bentuk yang sesingkat-singkatnya.

Mama : “Terus?”

Ifa : “Ifa sayang tante Niar. Kakak Affiq mau ndak ke Sorowako main sama Ifa?”

Mama terus mengetikkan lms (long message service) dalam format sesingkat-singkatnya dari Ifa dan mengirimkan ke tante Niar.

Januari 2007

Kue Putu

Kejadian ini berlangsung sewaktu Affiq masih berumur 4,5 tahun.

Sejak usia setahun lebih, Affiq suka sekali makan kue putu yang dijajakan penjualnya dengan pikulan. Ia senang malahap kue imut hangat dengan gula merah di dalamnya dan taburan kelapa parut di luarnya.

Jika terdengar bunyi ‘peluit’ yang berasal dari pikulan sang penjual putu, Affiq akan berlari tergopoh-gopoh. Sembari bertepuk tangan keras-keras dengan berulang kali, ia meneriakkan kalimat ini :

“KUE JALAN PUTU BUNYI ..... KUE JALAN PUTU BUNYI .... KUE JALAN PUTU BUNYI ...” sampai sang penjual menghentikan langkahnya dan memarkir pikulannya di depan pagar rumah kami ....

Kue Jalan Putu Bunyi adalah sebutan Affiq untuk ‘paket penjual dan jualannya yang dijajakan sembari dipikul’.

19 Februari 2007

Kado

Saat adik baru lahir, keluarga dan kawan-kawan mama dan papa menjenguknya. Suatu hari, sahabat-sahabat mama saat SMP, tante Ira, datang bersama tante Uli dan anaknya Dhani (4 tahun). Affiq (5,5 tahun) terlibat dalam interaksi seru dengan Dhani selayaknya 2 anak super aktif sedang bermain. Mama, tante Uli, dan tante Ira juga terlibat pembicaraan seru karena mereka sudah lama tak jumpa.

Tibalah saat akhir kunjungan saat tante-tante itu berpamitan hendak pulang. Dengan polosnya, Affiq berseru kepada Dhani:

“Pulang saja. Besok datang lagi ya ....”

Dasar ibu-ibu, mama dan tante-tante itu masih cerita. Affiq melanjutkan kalimatnya:

“Pulang .... besok datang lagi bawa kado ... tiga ...! “

Dhani tak mau kalah, saat mereka bertiga sedang berjalan menjauhi rumah, ia membalikkan badannya sambil berteriak:

“Jangan .... nanti habis uangnya ibuku!”

Januari 2007

Friday, November 30, 2007

Jangan Dibuka, ya Mama !!!

Ifa (5 tahun) sedang bermain bersama Tian teman sekolahnya di kelas TK B. Tian menuliskan sesuatu pada white board Ifa. Tiba saatnya permainan harus dihentikan, Tian pulang ke rumahnya dan Ifa membereskan barang yang masih berantakan. Ia pun menyimpan white board-nya ke dalam lemari.

Ifa : “Mama, jangan dibuka ya lemari ini, ada tulisan tidak baik di sini”.

Mama menyimpan rasa penasarannya hingga saat Ifa lengah ia membuka lemari tersebut dan mencari tulisan yang dimaksud. Ternyata tulisan itu berbunyi “IFA PACARAN”.

Ifa yang akhirnya mengetahui mamanya telah membaca tulisan tersebut kontan menangis tersedu-sedu sambil berucap, “Bukan Ifa yang tulis Mama, Tian yang tulis itu”.

Mama pun membujuknya.

November 2007

Dimana Remote?

Papa sedang mencari remote control TV:

Papa : “Affiq di mana remote ?”

Affiq : “Saya sembunyi di bawah boks adik!!”

Maret 2007

Browning

Affiq (5,5 tahun) dikupaskan dan dipotongkan apel oleh oma. Karena masih ingin, kegiatan ‘memotong dan mengupas’ dilanjutkan oleh papa.

Akhirnya ia merasa cukup kenyang sehingga tidak menghabiskan beberapa potongan terakhir. Jelas saja potongan-potongan apel tersebut mulai berubah warna menjadi kecoklatan.

Beberapa saat kemudian ia memutuskan memakan potongan apel yang tersisa tadi, tetapi saat membuka tudung saji, ia berteriak: “Saya tidak mau makan”.

Papa : “Tidak apa-apa Nak, ini namanya browning” (efek warna kecoklatan yang timbul pada apel yang telah dikupas). “Tidak apa-apa dimakan”

Affiq : “Saya tidak mau pakai broning ..... kupas!”

19 Februari 2007

Baju Bodo

Mama dan Affiq sedang melihat-lihat foto pernikahan paman Affiq. Mama mengomentari foto Ifa, sepupu Affiq yang sedang memakai baju bodo, baju adat suku Bugis-Makassar.

Mama : “Adik Ifa cantik ya, pakai baju bodo”.

Affiq yang selama ini diajari untuk tidak mengucapkan kata ‘BODOH’ karena tidak baik mengucapkan kata itu kepada orang lain, protes:
Affiq : “Tidak boleh bilang BODOH, Mama!”
Mama : “Bukan Nak, Mama tidak bilang ‘BODOH’. Ini yang adik Ifa pakai namanya
‘Baju Bodo’, artinya ‘Baju pendek’, ini lho ... baju yang seperti ini”.

Kata mama sembari menunjukkan sekali lagi kostum yang sedang dipakai Ifa.

Tetapi rupanya pengertian ini masih sulit dipahami Affiq. Ia tetap mengatakan bahwa kata tersebut tidak boleh diucapkan. Mama menjelaskan sekali lagi. Akhirnya ia menukas:

Affiq : “Mama, saya mau dibelikan ‘Baju Gila’ dan ‘Celana Gila’ .

Alhasil, Mama setengah mati menahan geli.

Oktober 2006

Sunday, February 18, 2007

Saat Superioitas Diekspresikan dengan Tepat

Saat ini anak saya, Affiq (4 tahun) tengah minum 2 jenis susu yang dicampur, yaitu susu coklat dan rasanya manis sekali dan untuk mengimbanginya supaya tidak terlalu manis, saya mencampurnya dengan susu instan merk lain yang kurang terasa manisnya. Susu coklatnya masih ada, yang harus dibeli kali ini adalah susu putihnya. Maka pada suatu hari, sepulang Affiq dari sekolah, saya dan suami mengajaknya ke toko grosir sebelum pulang ke rumah.

Thank God, sejak bersekolah di tahun ajaran ini, Affiq lebih ceriwis dan lebih komunikatif. Kalau dibawa ke mana-mana ia sering mengatur apa yang harus kami lakukan dan yang tidak boleh kami lakukan. Kalau ke toko ia sering mengatur apa yang harus kami beli, dan apa yang tidak boleh kami beli karena harganya yang “mahal”. Begitu pula kali ini, saat melihat susu putih kemasan 1 kg yang saya pilih, Affiq mulai bertingkah. Dengan super ngotot, ia berkata tidak menginginkan susu itu. Ia malah melirik merk susu lain, untuk usia 6 tahun ke atas sambil berkata bahwa susu putih itu “mahal”. Dengan tenang, saya dan papanya berusaha membujuknya dengan berbagai penjelasan yang masuk akal. Di wajahnya muncul mimik keras, ia tetap berkeras tidak mau susu itu.

Akhirnya saya dan suami capek membujuknya. Syukur, amarah tidak berhasil menghampiri kami, Affiq lalu kami tinggalkan di rak susu. Saya kemudian berjingkat-jingkat, bersembunyi pada jarak 5 meter darinya dan papanya menghilang sejauh 10 meter. Saya memperhatikan tindak-tanduknya, ia duduk diam-diam di rak paling bawah, tidak melakukan apa-apa. Sesekali matanya melihat-lihat berbagai macam merk susu di sekitarnya. Menit demi menit saya amati, ia belum juga mencari kami ! Sekitar 10 menit kemudian ia mulai celingak-celinguk. Akhirnya ia berdiri dan berjalan, menyeberang menuju rak di depannya. Ia kemudian menelusuri muatan rak itu dengan tatapannya. Pelan-pelan saya mendekati rak itu. Lalu saya mengintipnya. Mendengar suara langkah kaki, ia menoleh dan melihat saya, kami berdua bertatapan dan seketika itu juga saling melempar senyum. Tidak lama suami saya mendekati kami. Kami bertiga saling menatap dengan senyum. Suami saya lalu mengajak Affiq mengitari sejenak sekitar situ sementara saya menunggu di troley. Affiq menurut dengan ikhlas. Selanjutnya kami bertiga menuju kasir. Suami saya berucap, “Affiq tadi sedang mengetes Kita!”. Saya mengiyakan.

**********************

Beberapa minggu sebelum kejadian itu, di sebuah toko swalayan, Affiq ‘mengetes’ kami dengan kengototannya terhadap salah satu merk jelly yang berusaha kami hindari karena tidak mencantumkan label ‘HALAL’ pada kemasannya. Produk itu mengandung ‘EMULSIFIER’ tetapi tidak mendefinisikan dari mana emulsifier itu berasal. Kami ragu membelinya karena ternyata banyak produk yang menggunakan emulsifier yang berbahan dasar hewan yang diharamkan dalam Islam untuk dikonsumsi. Dan kelihatannya produk itu salah satu di antaranya. Segala bujuk rayu ditampik oleh Affiq, ia tetap berada di depan rak yang memajang produk itu dengan mimik ngotot sembari merengek halus. Hendak ditukar dengan apapun, ia menolak ¡

Akhirnya saya menyerah, saya mencoba menenangkan diri dengan melihat-lihat isi swalayan itu sambil berharap semoga suami saya berhasil membujuknya. Lima menit kemudian, suami saya dan Affiq menghampiri saya. Di bibir mereka berdua tersungging senyum tipis. Di dalam keranjang belanjaan di tangan suami saya terdapat sebungkus jelly berlabel ‘HALAL’ yang sedari tadi ditawarkan kepada Affiq tetapi sempat ditampiknya. Dengan heran saya bertanya pada suami saya, bagaimana caranya ia membujuk buah hati kami. Suami saya menjawab bahwa penjelasannya simpel saja, ia hanya mencoba menjelaskan bahwa sebagai muslim, kami harus memilih produk yang ada tanda ‘HALAL’-nya. Affiq yang sedang belajar mengeja lalu diajak oleh papanya untuk membaca tulisan ‘HALAL’ sekaligus mengenali huruf Arab-nya. Alhamdulillah, ia mau mengerti penjelasan papanya dan mau menerima merk lain sebagai pengganti.
**********************


Sebenarnya tidak sulit menghadapi Affiq. Kalau menghadapinya dengan sabar, pada akhirnya ia menurut. Tindakan nyebelin-nya seringkali hanyalah untuk mengetes reaksi kami atau untuk menyampaikan sesuatu dan jika tindakan-tindakan itu ditanggapi dengan kurang sabar atau kurang tepat, hasilnya pasti tidak bagus dan dengan sendirinya kami-orangtuanya biasanya merasakan penyesalan karena telah bertindak kurang bijak. Sementara pada hati buah hati kami, kemungkinan besar telah tertoreh luka yang entah kapan sembuhnya.

Betapa bahagianya jika rasa superior sebagai orangtua terekspresikan dengan tepat. Puas, dan bersyukur karena telah memperlakukan amanah-NYA dengan bijak. Dan yang pasti, happy ending juga bagi Affiq. Dia akhirnya tahu bahwa orangtuanya bisa juga memperlakukannya dengan bijak, meskipun tidak selalu. Iya, memang tidak selalu, kekhilafan sering terjadi atas nama arogansi yang terselubung superioritas. Tetapi kami selalu berusaha untuk memperlakukannya dengan bijak dan introspeksi diri bilamana arogansi itu muncul atas nama superioritas ..........

Makassar, 2005

Rindu Papa

Adik saya, Mirna beserta keluarga kecilnya: suami, dan Ifa - anak perempuan semata wayangnya yang baru berusia 3 tahun, tinggal di Sorowako, kota kecil berjarak ± 700 km di arah timur laut kota Makassar. Sesekali mereka berlibur/cuti ke Makassar, seperti kali ini – di pertengahan Mei 2005.

Setelah melepas penat sejenak usai bermobil selama 11 jam lebih, seperti biasa saya dan Mirna bertukar cerita tentang balita-ballita kecil kami. Ya, kami sedari kecil memang senang saling berbagi cerita karena hubungan kami sangat akrab, apalagi selisih umur kami hanya 15 bulan. Usia balita-balita kecil kami pun tidak beda jauh, hanya berselisih 11 bulan.

Pada suatu ketika, suami Mirna harus menyelesaikan banyak pekerjaan di kantornya. Kalau biasanya ia pergi kerja pukul setengah tujuh pagi, pulang pukul 17.00 – 17.30 sore, kali ini –beratnya tanggung jawab pekerjaan yang harus ia selesaikan, menyebabkan ia harus pergi pukul setengah enam pagi dan pulang di atas pukul 8 malam, selama seminggu. Pada hari ke-6 ia bahkan terpaksa pulang setelah pukul 10 malam di saat putri mungilnya telah lelap tertidur. Kisah ini terjadi pada hari keenam.

Pukul 8 malam itu, setelah menyelesaikan semua aktifitas rutin, Mirna mengajak Ifa masuk ke kamar tidur. Setelah Ifa berbaring bersama teman-teman bonekanya, Mirna pun mematikan lampu. Dalam kegelapan, Ifa tiba-tiba berkata: “Mama, Papa belum pulang”. Mirna menyahut: “ Iya, Papa masih lama pulang. Ifa bobo duluan”. Putri mungil itu diam sejenak. Kemudian ia menepuk pipi Mirna sambil berkata: “Mama, lapar”. Masih di dalam ruang tidur yang gelap, percakapan ini terjadi:
Mirna: “Ifa mau makan apa ?”.
Ifa: “Nasi”.
Mirna: “Mau makan nasi dengan apa ?”.
Ifa: “Telur rebus”.
Mirna: “Oke, Mama buatkan. Dihabiskan ya ?”.
Ifa: “Iya”.

Sambil menunggu telur rebus matang. Mereka berdua nonton TV. Setelah matang, Mirna menyuapi Ifa sambil nonton TV. Surprised, hal yang jarang terjadi: nasi dan telur rebus habis !
“Bobo, ya ?”, Mirna mengajak Ifa.
Ifa: “Bacakan cerita dulu, Mama”.
Mirna: “Satu kali saja, ya?”.
Ifa: “Iya”.
Mirna pun membacakan buku cerita favorit Ifa sampai selesai, seperti biasa, Ifa menyimak dengan antusias. Kemudian Ifa meminta Mirna membacakan lagi cerita untuknya: “Mama, bacakan lagi ... terakhir!”. Mirna menurutinya. Setelah cerita kedua selesai dibacakan, Ifa mengulangi pintanya sambil menyodorkan buku cerita yang lain: “Terakhir, Mama!”. Karena sudah diserang rasa kantuk, Mirna menjawab pinta itu dengan: “Sudah ya, Ifa. Katanya terakhir. Ayo bobo!”. Ifa terdiam sejenak tetapi kemudian mulut mungilnya mulai mengeluarkan isakan: “Tapi, Papa belum pulang. Ifa ....... rindu ..... “.

Mirna tersentak, seketika itu ada rasa haru menyelip dalam hatinya, rasa haru yang semakin lama semakin membuncah: “Ya Allah, permata hatiku ini sudah mengerti RINDU ?”. Rupanya ia berusaha mengulur-ngulur waktu tidurnya, berharap Papanya pulang sebelum ia tertidur supaya ia masih bisa minta dibacakan cerita atau bersenda gurau dengan papanya seperti biasa, saat pekerjaan kantor tidak membuat papanya sesibuk ini. Dan harus diakui oleh Mirna, Ifa lebih menyukai cara papanya membacakan cerita ketimbang dirinya. Mirna pun meraih Ifa dalam pelukannya, membelainya dengan lembut, sambil berusaha membujuk supaya ia mau tidur: “Papa masih lama pulang, Nak. Bobo cepat ya supaya insya Allah besok bangun pagi-pagi sekali sebelum Papa berangkat kantor”. Putri mungil itu mengangguk dan mengikuti bujukan Mamanya, masuk ke kamar tidur dan berbaring di ranjangnya. Mirna berbaring di samping putrinya. Masih dengan rasa haru ia berbisik pada dirinya sendiri : “Bahagianya Papa jika tahu betapa Ifa merindukannya ...... “.

Jangankan Mirna yang mengalami langsung cerita ini, saya saja yang hanya mendengarnya diceritakan kembali, juga merasakan rasa haru yang sangat. Seolah hati saya ditetesi air yang sejuk sekali. Benar, statemen yang mengatakan bahwa anak ibarat kertas putih, orangtua yang menulisinya. Kalau dalam dunia teknologi, ibarat harddisk, orangtua yang mem-format-nya dan meng-install program-program aplikasi ke dalamnya.

Membangun hubungan akrab yang manis, dengan komunikasi yang baik dengan anak sungguh tidak sia-sia. Ifa telah membuktikan, meski usianya masih sangat muda, tulisan/format yang dibuat orangtuanya pada dirinya berhasil menimbulkan satu perasaan manis yang muncul dengan suka rela dalam hatinya: RINDU. Setelah ini, insya Allah tidak akan sulit membuat tulisan-tulisan atau format-format lain ke dalam dirinya yang bisa membuatnya merefleksikannya dengan suka rela.

Memang selayaknya anak tidak diindoktrinasi. Misalnya dengan dalil atau ‘aksioma’: “Anak harus patuh dan taat kepada orangtua, karena orangtua yang melahirkan dan menyekolahkan/mendidik anak, orangtua sudah susah payah mencari uang untuk membiayai anak”. Menurut pendapat saya, dalil atau aksioma itu malah tidak perlu diverbalkan. Yang perlu dilakukan adalah menyikapi anak dengan patut sehingga nantinya anak tahu sendiri bahwa orangtua yang selama ini mengasuhnya memang layak mendapatkan rasa hormat darinya karena telah berlaku bijak/dewasa/terpelajar sehingga patut digugu dan diteladani. Lagipula, dalil atau aksioma itu tidak layak diindoktrinasi kepada anak karena sebenarnya itu adalah kewajiban orangtua.Toh, anak tidak pernah minta dilahirkan. Orangtua yang berbuat ‘sesuatu’ sehingga menyebabkan anak lahir, oleh sebab itu, orangtua (memang) berkewajiban memenuhi segala kebutuhan anak. Iya, kan ?

Makassar, 6 Juni 2005 (Happy birthday Ifa, hope you’ll be a shalihah lady)

Tentang Persfektif

Setiap orang unik. Bukan hanya fisik tetapi juga psikis, mental, dan perspektif (sudut pandang). Oleh karena itu, dalam interaksi sehari-hari dibutuhkan keluasan wawasan dan keluasan hati dalam berhubungan dengan orang lain. Sebab perbedaan perspektif bisa saja mengakibatkan ketersinggungan, perkelahian, bahkan mungkin ... pembunuhan.

Seseorang yang pernah melihat cara saya memotong cake berkomentar, “Potongannya koq kecil-kecil, seperti orang kikir saja!”. Saya mengerti komentar tersebut datang karena perbedaan perspektif antara saya dan si komentator namun saya tidak menyangkal, selama bermenit-menit setelah komentar itu hati saya sempat meradang, dongkol. Karena dalam perspektif saya, saya lebih menyenangi potongan makanan termasuk kue yang bentuknya kecil karena saya bisa memakannya lebih dari sekali, dan lebih mudah bagi saya mengukur kapasitas lambung saya dengan ukuran yang kecil. Saya ini tipikal orang yang gampang merasa kenyang dengan hanya melihat potongan makanan yang besar-besar. Bukan rasa kenyang sungguhan yang datang dari lambung melainkan ‘kenyang mata’ yang kemudian memerintahkan otak untuk ‘melarang’ mengambil potongan tersebut karena jika saya memakannya maka saya harus menghabiskannya dan jika saya harus menghabiskannya maka saya akan kewalahan, sebaliknya jika saya tidak menghabiskannya berarti saya melakukan hal yang mubazir: satu hal yang tidak disukai Tuhan. Di samping itu, saya mempunyai kebiasaan makan sedikit-sedikit. Kalau makan nasi, saya tidak sekaligus meletakkan 2 sendok nasi di piring saya melainkan setengah sendok demi setengah sendok karena dengan demikian saya lebih menikmatinya. Begitu pula dalam memakan kue, saya lebih menikmati memakan kue dengan cara secomot demi secomot. Jadi komentar di atas saya jawab dengan: “Justru dengan potongan kecil-kecil orang bisa mengambil beberapa kali, kalau potongannya besar-besar orang hanya boleh mengambil satu kali ... “ (karena kalau mengambil lebih dari sekali bisa-bisa disangka doyan, lapar, atau ... rakus !!! Jadi sebenarnya yang mana yang kikir?.... lagi-lagi menyangkut perspektif kan?).

Di saat lain, suami saya bercerita tentang kebiasaan memasak ikan masak (Pallu Mara, masakan khas Makassar – terbuat dari ikan yang dimasak dengan cara direbus dengan air asam, kunyit, dan diberi bumbu bawang merah dan bawang putih) di keluarganya. Ada perspektif di keluarganya yang menilai cara masak dengan membanyakkan kuah, berarti kikir. Sehingga dalam keluarganya, masakan ikan tersebut tidak pernah dihidangkan ‘tenggelam’ dalam kuah. Sebaliknya, saya senang memasak jenis lauk itu dengan kuah yang melimpah karena baik saya ataupun suami menyenangi menikmati masakan itu dengan menyirami nasi banyak-banyak dengan kuahnya dan jika kuahnya habis sementara ikannya belum habis, saat dihidangkan di waktu makan berikutnya masakan itu serasa berkurang kenikmatannya terkecuali jika saya kembali memasak khusus kuahnya saja. Dan tentu saja, itu sama sekali tidak praktis. Meskipun suami saya telah menceritakan adanya perspektif tersebut, jika seandainya suatu ketika cara saya masak dikomentari, mungkin saja saya meradang, dongkol. Karena itu adalah reaksi wajar saya dari komentar negatif akan suatu hal yang sebenarnya relatif (tidak ada ukuran benar-salahnya). Komentar negatif akan membuat seseorang merasa disalahkan atau membuat seseorang terpaksa merasa bersalah. Padahal atas nama perspektif, kebenaran itu sering kali tergantung pada masing-masing individu dan bisa saja (dan sah-sah saja) berbeda. Tidak ada hadiah ataupun sanksi atas ‘kebenaran’ dan ‘kesalahan’ yang terjadi ...

Suatu ketika di saat saya dan suami sedang nonton TV, ada selingan iklan obat batuk. Dalam iklan itu, seorang ibu memuji menantunya yang memberikannya obat batuk mungil dengan harga terjangkau: Rp. 5.000,-. Kata ibu itu, menantunya hemat. Saya tertawa geli setelah melihat tayangan iklan itu karena tiba-tiba terlintas di benak saya perspektif lain. Saya berkata pada suami saya, “Kalau mertuanya baik, selalu berpikiran positif, ia pasti mengatakan hal itu. Mertua lain mungkin tidak, menantu seperti itu mungkin dinilai kikir, ngasih obat koq yang ukurannya kecil, bukannya besar. Sudah tentu karena harganya lebih murah ... !“.

Saya teringat berita di TVRI Makassar 3 tahun yang lalu. Tentang seorang tukang becak yang ditangkap polisi karena memukuli seorang turis Jepang yang sedang mabuk. Turis dari negeri matahari terbit itu rupanya ingin mencoba mengayuh becak dan karena sedang mabuk, tindakannya jadi tidak terkontrol. Tukang becak yang memiliki rasa ‘kebangsaan’ yang tinggi itu merasa tersinggung. Dengan dalih bangsa lain tidak boleh membawa becaknya karena ini tanah air Indonesia, ia memukul turis malang itu. Jangan coba-coba berusaha memahami sudut pandang si tukang becak walau pada kenyataannya begitulah perspektifnya (karena Anda mungkin takkan pernah bisa memahaminya). Yang jelas karena menyikapi perspektifnya dengan tindak pemukulan, ia terpaksa harus berurusan dengan yang berwajib ...

Makassar, Desember 2005

Pengembangan Diri Dunia-Akhirat

9 Januari 2007.

Malam ini, 2 orang teman, adik-adik dari almamater kami (Teknik Elektro UNHAS) datang ke rumah hendak mengcopy file guna keperluan tes bakat yang hendak mereka lakukan. Mereka berdua bertindak sebagai fasilitator dalam Talent Test yang akan dilakukan beberapa waktu ke depan.

Tes tersebut ditujukan untuk siswa-siswa SMA yang hendak melanjutkan pendidikan mereka ke jenjang S1 supaya tidak salah memilih jurusan. Melalui tes tersebut mereka dibantu untuk mampu mengenali potensi mereka yang sesungguhnya. Selain siswa SMA, tes tersebut ditujukan juga untuk pegawai-pegawai perusahaan rguna keperluan pemetaan karir mereka ke depannya, istilah kerennya ‘right man on the right place’. Tujuannya, supaya kinerja perusahaan ke depannya dapat lebih produktif tentu saja.

Selain itu, mereka berencana mengadakan semacam ‘after sales service ’ , berupa konsultasi setelah hasil tes diterima oleh peserta tes. Guna menjawab pertanyaan: “ Setelah tes, so what ?”.

Mereka berdua bertutur cukup ‘panjang lebar’ seputar tes tersebut. Di antaranya adalah bahwa keunggulan tes ini berikut pelatihannya adalah supaya setelah melakukan tes, tindak lanjutnya difokuskan pada potensi (kelebihan) peserta tes, bukannya pada kelemahan. Kelemahan untuk sementara diabaikan dulu karena dengan berfokus pada kelebihan, lama-kelamaan kelemahan akan tertutupi (mengecil). Ketimbang berfokus pada kelemahan, yang ada malah repot memperbaiki kelemahan dan lupa mengasah potensi.
***

Saya jadi teringat sebuah buku yang baru saja saya baca: “10 Anugerah Terindah Untuk Ananda, Cara Membesarkan Anak dengan Hati” yang ditulis oleh Steven Vannoy, juga memuat hal yang bersesuaian. Di antaranya dianalogikan dengan permadani indah dan noda di atasnya. Betapa pun indahnya permadani tersebut jika yang teramati hanya noda-noda di atasnya maka permadani itu tidak akan kelihatan keindahannya karena setelah itu, noda demi noda yang lain akan tampak dengan sendirinya. Tetapi jika yang diamati keindahan permadani itu maka noda-noda di atasnya dengan sendirinya malah tersamar.

Buku itu juga memuat berbagai kisah tentang pengasuhan anak, di antaranya kisah seseorang bernama Mike (pada halaman 221), sebagai berikut:
Usia saya 35 tahun dan orangtua saya masih memperlakukan saya seolah-olah saya masih berumur 5 tahun. Mereka mempertanyakan segala sesuatu yang saya kerjakan. Mereka biasa berkata, “Mengapa kau masih tetap melakukan pekerjaan yang tidak memuaskan itu?” atau “Apakah kau yakin warna setelan baju itu cocok denganmu?” Mereka menanyakan mengapa istri saya melakukan ini atau itu dan mengapa saya membiarkan anak-anak saya bertingkah laku seperti anak nakal, atau bukankah lebih baik jika kami pergi ke gereja di lingkungan yang dulu? Saya tahu mereka orang-orang yang sangat baik dan segala yang mereka lakukan bertujuan menjadikan saya orang yang bertanggung jawab, tetapi bagaimana saya bisa merasa bertanggung jawab jika mereka mempertanyakan setiap keputusan yang saya buat? Itu terus berlanjut sehingga saya tidak suka berbicara dengan mereka lagi, dan kami semakin sering mencari-cari alasan agar tidak usah mengunjungi mereka. Dan ini sangat disayangkan. Kesehatan ayah saya menurun dan saya ingin menemaninya selama sisa waktu yang dimilikinya daripada merasa ingin menghindarinya.


Menarik. Ternyata ada kesesuaian ‘konsep pelatihan’ dalam hal ini. Pelatihan pengembangan diri sebagai lanjutan dari Talent Test dan ‘pelatihan’ (baca: pengasuhan) anak. Bukan hanya dalam Talent Test. Buku-buku dan teori seputar pelatihan/pengembangan diri yang saya temui sejak mahasiswa hingga sekarang memiliki banyak kesesuaian dengan teori-teori pendidikan anak modern. Utamanya dalam hal yang berkaitan dengan pencapaian afeksi yang diharapkan. Hanya saja dibahasakan secara berbeda.

Saya kenal beberapa orang yang punya semangat melatih yang sangat tinggi. Mereka sangat menikmati bacaan-bacaan maupun kegiatan-kegiatan yang berhubungan dengan pengembangan diri. Mereka memiliki visi yang ideal dalam hal ini. Saya membayangkan apa jadinya anak-anak mereka kelak ... wow ... barangkali anak-anak mereka akan menjadi sumber daya handal yang dimiliki bangsa ini kelak. Sumber daya yang tidak hanya cerdas secara intelektual tetapi juga secara emosional dan spiritual. Karena sesungguhnya pengasuhan anak sejatinya adalah ‘program pengembangan diri‘ paket dunia-akhirat di mana pesertanya masih berupa ‘kertas putih yang masih kosong’ dan pelatih/instruktur/guru-nya adalah orangtua.

Sebenarnya ada yang tak kalah menariknya. Yaitu, orangtua sebenarnya ‘berperan ganda’. Tak hanya sebagai pelatih, sekaligus ia juga sebagai peserta. Sayangnya banyak orangtua yang tak sadar akan hal ini karena mereka beranggapan proses pengembangan dirinya sudah selesai padahal sejatinya manusia tak boleh berhenti belajar bahkan melalui anak/keturunannya. Tidak percaya ? Coba saja bercermin dari perilaku anak balita/remaja kita (catatan: jangan pada saat mereka sudah dewasa karena mereka pasti sudah belajar mengembangkan diri dari sumber-sumber lain, kepribadian mereka bukan lagi monopoli bentukan dari dalam rumah tetapi juga dari luar rumah). Coba simak cara mereka berpikir, berpendapat, mengeluarkan emosi negatif, bergaul dengan orang lain, bereaksi terhadap suatu masalah, dan lain-lain. Kalau bukan meniru orangtuanya, mereka pasti memiliki perilaku yang merupakan reaksi dari perilaku orangtua terhadap mereka. Sekali lagi: tidak percaya ? Ah, cobalah jujur. Steven Vannoy saja berpendapat demikian, ini tersirat dan tersurat sangat banyak dalam bukunya yang saya sebutkan di atas. Siapakah Steven Vannoy ? Oh, dia adalah salah satu penulis buku laris di Amerika sana yang memiliki pengalaman 25 tahun dalam kepemimpinan dan pelatihan. Dia diakui sebagai salah satu pakar terkemuka di Amerika dalam bidang membangun budaya perusahaan, komunitas, dan keluarga yang sehat.

Ini sungguh tantangan yang sangat menarik bagi para pecandu pelaksana pelatihan karena hasilnya bukan saja akan mereka saksikan di dunia ini, tetapi juga di akhirat. Dan saya yakin, jikalau hasilnya memuaskan (yah ... katakanlah rapornya dapat nilai ‘A’ dari Yang Mahakuasa) sang orangtua pastilah menjadi orang yang sangat bijaksana dan ia pasti memiliki ikatan batin yang sangat tulus dengan keturunannya. Hmmm .... indahnya ....

Makassar, ..... selesai 1 Februari 2007

Maniri Menyapih

Saya merasa sangat beruntung sebagai seorang ibu karena berhasil menyusui Affiq (4 tahun) secara eksklusif selama 6 bulan sejak kelahirannya. Hasilnya, saya membuktikan sendiri keunggulan ASI eksklusif plus kolostrumnya: Affiq tumbuh sehat dan daya tahan tubuhnya bagus, berat badannya rata-rata naik 1 kg setiap bulannya, ia tidak tertular meski saat saya dan papanya berkali-kali terkena pilek dan batuk. Dan di saat-saat kami sakit pun saya tetap menyusuinya tanpa menggunakan masker. Yang tak kalah pentingnya: bonding di antara kami tumbuh dengan mesranya.
Usia 6 bulan, Affiq mulai makan makanan yang sesuai untuk bayi seusianya. Dia masih minum ASI sampai usia 10 bulan. Saat itu saya mulai mengenalkan susu formula padanya, diminumkan sesekali melalui gelas.
Suatu ketika di usia 14 bulan, Affiq menolak saat hendak saya susui. Saat memasukkan puting susu ke mulutnya, ia meningkahinya dengan bermain. Saya terus mencoba. Affiq terus bermain. Saat mulai bosan, dia marah. Meskipun begitu saya masih tetap dengan kegigihan saya hingga tiba pada puncak kejengkelannya, dia menggigit puting susu saya. Sakit, tentu saja. Tetapi saya masih terus mencoba menyusuinya. Keinginan untuk dapat menyusuinya selama 2 tahun begitu besarnya sehingga saat itu saya rela walau kena gigit. Beberapa kali saya coba, dia masih tetap menggigit. Akhirnya, kami berdua menangis. Saya menangis putus asa, sementara Affiq menangis karena marah.
Beberapa kali, rangkaian adegan itu berulang. Hingga akhirnya beberapa hari kemudian saya pasrah dan membiarkan ASI saya diserap kembali oleh tubuh. Affiq pun tersapih dengan sendirinya, dengan ‘keputusan’-nya sendiri. Apa boleh buat, rasanya sedih tetapi yang paling penting Affiq tetap tumbuh dengan sehat, cerdas, dan lincah - hingga sekarang.
Satu kenangan unik bersama Affiq yang saya miliki ini, meski membuat saya sedih dan agak cemburu pada ibu-ibu yang bisa menyusui balita mereka hingga usia 2 tahun justru membuat ibu-ibu itu balik merasa cemburu pada saya karena saya tidak perlu seheboh mereka dalam hal usaha menyapih buah hati mereka. Saya tidak perlu melakukan berbagai usaha membaluri puting susu dengan segala macam zat yang berasa pahit ataupun asam karena ‘inisiatif' stop breastfeeding datangnya dari buah hati saya sendiri ...........................

Makassar, Juli 2005

Menjadi Ibu

Secara medis, saya dan suami sulit memiliki anak. Berdasarkan hasil pemeriksaan dokter spesialis kandungan di awal pernikahan kami, masing-masing dari kami memiliki masalah spesifik yang membuat kami berdua sama-sama sangat jauh dari subur. Saat itu dokter sampai memberikan gambaran mengenai inseminasi buatan dan program bayi tabung yang mungkin harus kami jalani.
Menjelang 1 tahun usia pernikahan kami, saya dan suami menjalani semacam terapi dengan obat-obat penyubur, selain itu dokter juga meminjamkan kami Maybe Baby - alat pengetes masa subur. Mulanya saya hanya mendapatkan dosis 1 x 1 Profertil (obat penyubur). Bulan-bulan berikutnya dosisnya ditingkatkan oleh dokter hingga 1 x 3. Dari cerita teman saya, ia hanya perlu mengkonsumsi obat tersebut dengan dosis 1 x 1 sampai akhirnya hamil. Tetapi ternyata tidak demikian halnya dengan saya. Meskipun dosis obat tersebut ditingkatkan (sementara suami saya juga tetap mengkonsumsi obat), saya belum juga berhasil hamil.
September 2000, kami berobat secara alternatif pada seorang tabib. Saat itu semua obat dokter yang sedang dikonsumsi kami tinggalkan. Kami hanya berobat pada tabib tersebut dan pasrah pada ketentuan Allah. Bukannya mengecilkan pengobatan medis, hanya saja kami lebih memilih obat alami, tanpa efek samping sama sekali, lagi berkah (air putih yang dibacakan do’a). Alhamdulillah, mendekati penghujung tahun 2000 saya hamil dan melahirkan seorang bayi laki-laki yang sehat pada 9 Juli 2001, di saat pernikahan kami menginjak usia 2 tahun. Bayi itu kami beri nama Muhammad Affiq Khalid Ghiffari Solihin.
Kalau saat itu ditanya mengapa saya ingin punya anak, terus terang saya tidak tahu jawaban pastinya. Mungkin karena saya melihat betapa bahagia dan terlihat lengkapnya teman-teman saya yang telah memiliki anak, atau mungkin juga karena saya bosan ditanya sana-sini dengan pertanyaan yang isinya sama tetapi dilontarkan dengan redaksi berbeda-beda: “Sudah hamil?”. Belum lagi, ada yang merespon jawaban “Tidak” saya dengan kalimat “Koq bisa?”, dengan mimik yang menusuk hati. Yang jelas semua itu membuat saya berusaha untuk bisa hamil.
Kalau sekarang ditanya, bagaimana rasanya dititipi anak oleh Yang Mahakuasa, jawaban saya adalah nikmat luar biasa. Dan rasa nikmat itu tidak bisa saya ungkapkan seluruhnya dengan kata-kata, bahkan dengan semua kosa kata yang saya miliki karena nikmat itu sangat meresap dan membungkus hati saya dan sering membuat saya menitikkan air mata haru.
Mulai dari nikmat keberhasilan pemberian ASI eksklusif dalam 6 bulan pertama kehidupannya hingga apa yang saya rasakan sekarang saat Affiq sudah berusia 5 tahun. Saya merasakan manfaat luar biasa dari ASI eksklusif, terutama pada kesehatan Affiq. Dibandingkan bayi-bayi lain seusianya yang tidak mendapatkan ASI eksklusif, Affiq tumbuh lebih sehat dan tak kalah montoknya. Bahkan di saat saya dan suami beberapa kali terserang flu, ia tak tertular. Berat badannya juga bertambah dengan signifikan, rata-rata 1 kg per bulannya. Bulan demi bulan hingga berbilang tahun, perkembangan kecerdasannya menggembirakan. Alhamdulillah, di usia 3 tahun 4 bulan ia memperdengarkan saya kata pertama yang berhasil ia eja: “JANE”, kata itu tertera di kursi balitanya. Sambil bermain, ia memang saya ajarkan mengenal huruf sejak ia berusia setahun kemudian perlahan-lahan saya ajar mengeja melalui bermacam media termasuk komputer (di antaranya melalui software Power Point), juga sambil bermain. Hingga menjelang usia 4 tahun ia sudah bisa membuat file presentasinya sendiri dengan animasi yang diinginkannya. Sungguh nikmat menjadi orang pertama yang menyaksikan pertumbuhan dan perkembangannya, sejak ia tidak tahu apa-apa hingga ia mengetahui cukup banyak, sejak ia belajar berjalan hingga ia bisa berlari. Sejak ia belum bisa bicara hingga ia fasih mengoceh, menanyakan apa saja, dan bereaksi secara verbal dengan lontaran-lontaran yang tak terduga. Dan masih banyak lagi.
‘Mendeteksi’ kemiripan antara Affiq dengan saya atau papanya, atau dengan kakek-kakek dan nenek-neneknya maupun om-om dan tante-tantenya juga mendatangkan kenikmatan tersendiri bagi saya. Sangat menakjubkan. Betapa Mahakuasanya Tuhan, dari setetes mani, segumpal daging yang terus berproses menjadi sel-sel yang membelah sampai menjadikannya bayi dalam rahim saya lalu kemudian lahir dan bertumbuh-kembang hingga usianya 5 tahun sekarang ini, ia memiliki banyak kemiripan dengan kami tetapi sesungguhnya dia adalah individu unik. Dengan perpaduan kemiripan itu semua ia justru membentuk postur yang unik, karakter, sikap, dan cara berpikir yang juga unik. Mengagumkan!
Menyelami kedalaman mata Affiq, sungguh kenikmatan luar biasa bagi saya. Nikmat yang tidak pernah berkurang rasanya sejak saya menatapnya sambil menyusui hingga di saat-saat sekarang ini, jika menatapnya yang sedang berceloteh riang tentang apa saja.
Menyaksikan keriangannya saat bermain, saat membuka lembaran buku kesayangannya, saat menggoda saya dan suami juga menciptakan kenikmatan luar biasa di hati saya. Pada kenyataannya, sungguh – saya tidak sanggup bercerita secara verbal semua nikmat luar biasa yang dianugerahkan Allah melaluinya. Segala nikmat yang tentu saja membuat saya merasakan makna menyandang predikat ‘ibu’.
Saya tidak pernah berobat secara medis lagi untuk bisa hamil setelah melahirkan Affiq. Baik saya maupun suami juga tidak menggunakan peralatan kontrasepsi dalam keintiman kami. Tetapi kami masih mengunjungi tabib pengobatan alternatif yang dahulu mengobati kami. Atas kehendak Allah, saya hamil di tahun 2006 ini. Betapa suka citanya kami. Di saat Affiq kami kabari tentang kehamilan saya, ia kelihatan berpikir. Kemudian, sambil menatap perut saya yang mulai membuncit terlontar pertanyaan ini dari mulut mungilnya: “Mama makan bayi?”. Saya bilang, “Tidak, Allah yang menaruh adik bayi dalam perut Mama”. Tetapi konsep ini masih sangat abstrak baginya. Berulang kali ia melantunkan kalimat ini: “Mama makan bayi …. Mama makan bayi …. “.
Affiq juga menciptakan cerita sendiri tentang ‘kehamilannya’. Ia ikut-ikutan hamil! Ia mengatakan di dalam perutnya ada bayi perempuan. Suatu saat terdengar bunyi yang berasal dari perutnya, ia berkata: “Perutku bunyi, bayinya sendawa”. Di saat lain, ketika ia sedang malas bergerak, ia berkata pada saya, “Mama, saya tidak bisa bergerak, saya hamil. Di perutku ada bayi”. Atau saat ia menginginkan jenis makanan tertentu, ia meminta kepada saya dengan dalih yang meninginkan makanan itu adalah bayinya!
Alhamdulillah kehamilan saya kali ini sangat nikmat. Walaupun dari bulan ke bulan perut saya makin membesar, saya masih bisa mengerjakan tugas-tugas kerumahtanggaan. Dan seperti kehamilan terdahulu, saya tidak punya masalah dengan ngidam. Nafsu makan saya bahkan biasa-biasa saja, demikian pula keinginan saya terhadap sesuatu pun biasa-biasa saja.
Hasil USG rahim saya pada tanggal 28 Juni 2006 menunjukkan janin dalam kandungan saya berusia 26 minggu 3 hari. Kemudian USG pada tanggal 26 Juli 2006 menunjukkan usia janin saya 30 minggu 3 hari, jenis kelaminnya sudah terlihat jelas. Waktu itu, hasil USG menunjukkan tanggal perkiraan melahirkan adalah 1 Oktober 2006. Mengenai jenis kelamin, saya dan suami menyerahkan saja sepenuhnya pada kehendak Yang Mahakuasa, kami tidak berani berharap banyak. Diberi kesempatan hamil saja sudah merupakan karunia yang tak terhingga bagi kami. Pasutri yang salah satunya saja kurang subur sangat sulit punya anak, apa lagi yang seperti kami ini, yang keduanya kurang subur. Yang subhanallah – ajaib, hasil USG pada tanggal 24 Agustus 2006 menunjukkan usia kandungan saya 36 minggu 2 hari, dan tanggal perkiraan melahirkan 18 September 2006! Masya Allah ... saya terkagum-kagum dengan hal ini. Allah mendiskon masa penantian saya sebanyak 2 minggu! Lalu, saat mendengar lantunan ayat suci dari pengeras suara masjid menggemakan ayat yang artinya: “Maka nikmat Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan ?”, air mata haru tergenang di sudut-sudut mata saya. Ya, nikmat mana lagi yang saya dustakan ? Tidak, tidak ada nikmat-NYA yang pantas saya dustakan apalagi nikmat dirahmati seorang anak laki-laki, dan sekarang ini diizinkan mengandung seorang bayi lagi ...
Saya berharap bisa lebih baik lagi dalam menjalankan tanggung jawab sebagai seorang ibu dan Affiq bisa menerima kehadiran adiknya dengan baik. Dan, apakah ‘prediksi’ Affiq tentang jenis kelamin adiknya benar atau salah ... saat tulisan ini dibuat saya sedang menghitung hari ...

Makassar, ditulis pada 29 Agustus 2006
Tulisan ini pernah diikutkan lomba menulis salah satu produk susu tetapi belum beruntung. Dimodifikasi pada tanggal 1 Februari 2007.