Sunday, February 18, 2007

Saat Superioitas Diekspresikan dengan Tepat

Saat ini anak saya, Affiq (4 tahun) tengah minum 2 jenis susu yang dicampur, yaitu susu coklat dan rasanya manis sekali dan untuk mengimbanginya supaya tidak terlalu manis, saya mencampurnya dengan susu instan merk lain yang kurang terasa manisnya. Susu coklatnya masih ada, yang harus dibeli kali ini adalah susu putihnya. Maka pada suatu hari, sepulang Affiq dari sekolah, saya dan suami mengajaknya ke toko grosir sebelum pulang ke rumah.

Thank God, sejak bersekolah di tahun ajaran ini, Affiq lebih ceriwis dan lebih komunikatif. Kalau dibawa ke mana-mana ia sering mengatur apa yang harus kami lakukan dan yang tidak boleh kami lakukan. Kalau ke toko ia sering mengatur apa yang harus kami beli, dan apa yang tidak boleh kami beli karena harganya yang “mahal”. Begitu pula kali ini, saat melihat susu putih kemasan 1 kg yang saya pilih, Affiq mulai bertingkah. Dengan super ngotot, ia berkata tidak menginginkan susu itu. Ia malah melirik merk susu lain, untuk usia 6 tahun ke atas sambil berkata bahwa susu putih itu “mahal”. Dengan tenang, saya dan papanya berusaha membujuknya dengan berbagai penjelasan yang masuk akal. Di wajahnya muncul mimik keras, ia tetap berkeras tidak mau susu itu.

Akhirnya saya dan suami capek membujuknya. Syukur, amarah tidak berhasil menghampiri kami, Affiq lalu kami tinggalkan di rak susu. Saya kemudian berjingkat-jingkat, bersembunyi pada jarak 5 meter darinya dan papanya menghilang sejauh 10 meter. Saya memperhatikan tindak-tanduknya, ia duduk diam-diam di rak paling bawah, tidak melakukan apa-apa. Sesekali matanya melihat-lihat berbagai macam merk susu di sekitarnya. Menit demi menit saya amati, ia belum juga mencari kami ! Sekitar 10 menit kemudian ia mulai celingak-celinguk. Akhirnya ia berdiri dan berjalan, menyeberang menuju rak di depannya. Ia kemudian menelusuri muatan rak itu dengan tatapannya. Pelan-pelan saya mendekati rak itu. Lalu saya mengintipnya. Mendengar suara langkah kaki, ia menoleh dan melihat saya, kami berdua bertatapan dan seketika itu juga saling melempar senyum. Tidak lama suami saya mendekati kami. Kami bertiga saling menatap dengan senyum. Suami saya lalu mengajak Affiq mengitari sejenak sekitar situ sementara saya menunggu di troley. Affiq menurut dengan ikhlas. Selanjutnya kami bertiga menuju kasir. Suami saya berucap, “Affiq tadi sedang mengetes Kita!”. Saya mengiyakan.

**********************

Beberapa minggu sebelum kejadian itu, di sebuah toko swalayan, Affiq ‘mengetes’ kami dengan kengototannya terhadap salah satu merk jelly yang berusaha kami hindari karena tidak mencantumkan label ‘HALAL’ pada kemasannya. Produk itu mengandung ‘EMULSIFIER’ tetapi tidak mendefinisikan dari mana emulsifier itu berasal. Kami ragu membelinya karena ternyata banyak produk yang menggunakan emulsifier yang berbahan dasar hewan yang diharamkan dalam Islam untuk dikonsumsi. Dan kelihatannya produk itu salah satu di antaranya. Segala bujuk rayu ditampik oleh Affiq, ia tetap berada di depan rak yang memajang produk itu dengan mimik ngotot sembari merengek halus. Hendak ditukar dengan apapun, ia menolak ¡

Akhirnya saya menyerah, saya mencoba menenangkan diri dengan melihat-lihat isi swalayan itu sambil berharap semoga suami saya berhasil membujuknya. Lima menit kemudian, suami saya dan Affiq menghampiri saya. Di bibir mereka berdua tersungging senyum tipis. Di dalam keranjang belanjaan di tangan suami saya terdapat sebungkus jelly berlabel ‘HALAL’ yang sedari tadi ditawarkan kepada Affiq tetapi sempat ditampiknya. Dengan heran saya bertanya pada suami saya, bagaimana caranya ia membujuk buah hati kami. Suami saya menjawab bahwa penjelasannya simpel saja, ia hanya mencoba menjelaskan bahwa sebagai muslim, kami harus memilih produk yang ada tanda ‘HALAL’-nya. Affiq yang sedang belajar mengeja lalu diajak oleh papanya untuk membaca tulisan ‘HALAL’ sekaligus mengenali huruf Arab-nya. Alhamdulillah, ia mau mengerti penjelasan papanya dan mau menerima merk lain sebagai pengganti.
**********************


Sebenarnya tidak sulit menghadapi Affiq. Kalau menghadapinya dengan sabar, pada akhirnya ia menurut. Tindakan nyebelin-nya seringkali hanyalah untuk mengetes reaksi kami atau untuk menyampaikan sesuatu dan jika tindakan-tindakan itu ditanggapi dengan kurang sabar atau kurang tepat, hasilnya pasti tidak bagus dan dengan sendirinya kami-orangtuanya biasanya merasakan penyesalan karena telah bertindak kurang bijak. Sementara pada hati buah hati kami, kemungkinan besar telah tertoreh luka yang entah kapan sembuhnya.

Betapa bahagianya jika rasa superior sebagai orangtua terekspresikan dengan tepat. Puas, dan bersyukur karena telah memperlakukan amanah-NYA dengan bijak. Dan yang pasti, happy ending juga bagi Affiq. Dia akhirnya tahu bahwa orangtuanya bisa juga memperlakukannya dengan bijak, meskipun tidak selalu. Iya, memang tidak selalu, kekhilafan sering terjadi atas nama arogansi yang terselubung superioritas. Tetapi kami selalu berusaha untuk memperlakukannya dengan bijak dan introspeksi diri bilamana arogansi itu muncul atas nama superioritas ..........

Makassar, 2005

Rindu Papa

Adik saya, Mirna beserta keluarga kecilnya: suami, dan Ifa - anak perempuan semata wayangnya yang baru berusia 3 tahun, tinggal di Sorowako, kota kecil berjarak ± 700 km di arah timur laut kota Makassar. Sesekali mereka berlibur/cuti ke Makassar, seperti kali ini – di pertengahan Mei 2005.

Setelah melepas penat sejenak usai bermobil selama 11 jam lebih, seperti biasa saya dan Mirna bertukar cerita tentang balita-ballita kecil kami. Ya, kami sedari kecil memang senang saling berbagi cerita karena hubungan kami sangat akrab, apalagi selisih umur kami hanya 15 bulan. Usia balita-balita kecil kami pun tidak beda jauh, hanya berselisih 11 bulan.

Pada suatu ketika, suami Mirna harus menyelesaikan banyak pekerjaan di kantornya. Kalau biasanya ia pergi kerja pukul setengah tujuh pagi, pulang pukul 17.00 – 17.30 sore, kali ini –beratnya tanggung jawab pekerjaan yang harus ia selesaikan, menyebabkan ia harus pergi pukul setengah enam pagi dan pulang di atas pukul 8 malam, selama seminggu. Pada hari ke-6 ia bahkan terpaksa pulang setelah pukul 10 malam di saat putri mungilnya telah lelap tertidur. Kisah ini terjadi pada hari keenam.

Pukul 8 malam itu, setelah menyelesaikan semua aktifitas rutin, Mirna mengajak Ifa masuk ke kamar tidur. Setelah Ifa berbaring bersama teman-teman bonekanya, Mirna pun mematikan lampu. Dalam kegelapan, Ifa tiba-tiba berkata: “Mama, Papa belum pulang”. Mirna menyahut: “ Iya, Papa masih lama pulang. Ifa bobo duluan”. Putri mungil itu diam sejenak. Kemudian ia menepuk pipi Mirna sambil berkata: “Mama, lapar”. Masih di dalam ruang tidur yang gelap, percakapan ini terjadi:
Mirna: “Ifa mau makan apa ?”.
Ifa: “Nasi”.
Mirna: “Mau makan nasi dengan apa ?”.
Ifa: “Telur rebus”.
Mirna: “Oke, Mama buatkan. Dihabiskan ya ?”.
Ifa: “Iya”.

Sambil menunggu telur rebus matang. Mereka berdua nonton TV. Setelah matang, Mirna menyuapi Ifa sambil nonton TV. Surprised, hal yang jarang terjadi: nasi dan telur rebus habis !
“Bobo, ya ?”, Mirna mengajak Ifa.
Ifa: “Bacakan cerita dulu, Mama”.
Mirna: “Satu kali saja, ya?”.
Ifa: “Iya”.
Mirna pun membacakan buku cerita favorit Ifa sampai selesai, seperti biasa, Ifa menyimak dengan antusias. Kemudian Ifa meminta Mirna membacakan lagi cerita untuknya: “Mama, bacakan lagi ... terakhir!”. Mirna menurutinya. Setelah cerita kedua selesai dibacakan, Ifa mengulangi pintanya sambil menyodorkan buku cerita yang lain: “Terakhir, Mama!”. Karena sudah diserang rasa kantuk, Mirna menjawab pinta itu dengan: “Sudah ya, Ifa. Katanya terakhir. Ayo bobo!”. Ifa terdiam sejenak tetapi kemudian mulut mungilnya mulai mengeluarkan isakan: “Tapi, Papa belum pulang. Ifa ....... rindu ..... “.

Mirna tersentak, seketika itu ada rasa haru menyelip dalam hatinya, rasa haru yang semakin lama semakin membuncah: “Ya Allah, permata hatiku ini sudah mengerti RINDU ?”. Rupanya ia berusaha mengulur-ngulur waktu tidurnya, berharap Papanya pulang sebelum ia tertidur supaya ia masih bisa minta dibacakan cerita atau bersenda gurau dengan papanya seperti biasa, saat pekerjaan kantor tidak membuat papanya sesibuk ini. Dan harus diakui oleh Mirna, Ifa lebih menyukai cara papanya membacakan cerita ketimbang dirinya. Mirna pun meraih Ifa dalam pelukannya, membelainya dengan lembut, sambil berusaha membujuk supaya ia mau tidur: “Papa masih lama pulang, Nak. Bobo cepat ya supaya insya Allah besok bangun pagi-pagi sekali sebelum Papa berangkat kantor”. Putri mungil itu mengangguk dan mengikuti bujukan Mamanya, masuk ke kamar tidur dan berbaring di ranjangnya. Mirna berbaring di samping putrinya. Masih dengan rasa haru ia berbisik pada dirinya sendiri : “Bahagianya Papa jika tahu betapa Ifa merindukannya ...... “.

Jangankan Mirna yang mengalami langsung cerita ini, saya saja yang hanya mendengarnya diceritakan kembali, juga merasakan rasa haru yang sangat. Seolah hati saya ditetesi air yang sejuk sekali. Benar, statemen yang mengatakan bahwa anak ibarat kertas putih, orangtua yang menulisinya. Kalau dalam dunia teknologi, ibarat harddisk, orangtua yang mem-format-nya dan meng-install program-program aplikasi ke dalamnya.

Membangun hubungan akrab yang manis, dengan komunikasi yang baik dengan anak sungguh tidak sia-sia. Ifa telah membuktikan, meski usianya masih sangat muda, tulisan/format yang dibuat orangtuanya pada dirinya berhasil menimbulkan satu perasaan manis yang muncul dengan suka rela dalam hatinya: RINDU. Setelah ini, insya Allah tidak akan sulit membuat tulisan-tulisan atau format-format lain ke dalam dirinya yang bisa membuatnya merefleksikannya dengan suka rela.

Memang selayaknya anak tidak diindoktrinasi. Misalnya dengan dalil atau ‘aksioma’: “Anak harus patuh dan taat kepada orangtua, karena orangtua yang melahirkan dan menyekolahkan/mendidik anak, orangtua sudah susah payah mencari uang untuk membiayai anak”. Menurut pendapat saya, dalil atau aksioma itu malah tidak perlu diverbalkan. Yang perlu dilakukan adalah menyikapi anak dengan patut sehingga nantinya anak tahu sendiri bahwa orangtua yang selama ini mengasuhnya memang layak mendapatkan rasa hormat darinya karena telah berlaku bijak/dewasa/terpelajar sehingga patut digugu dan diteladani. Lagipula, dalil atau aksioma itu tidak layak diindoktrinasi kepada anak karena sebenarnya itu adalah kewajiban orangtua.Toh, anak tidak pernah minta dilahirkan. Orangtua yang berbuat ‘sesuatu’ sehingga menyebabkan anak lahir, oleh sebab itu, orangtua (memang) berkewajiban memenuhi segala kebutuhan anak. Iya, kan ?

Makassar, 6 Juni 2005 (Happy birthday Ifa, hope you’ll be a shalihah lady)

Tentang Persfektif

Setiap orang unik. Bukan hanya fisik tetapi juga psikis, mental, dan perspektif (sudut pandang). Oleh karena itu, dalam interaksi sehari-hari dibutuhkan keluasan wawasan dan keluasan hati dalam berhubungan dengan orang lain. Sebab perbedaan perspektif bisa saja mengakibatkan ketersinggungan, perkelahian, bahkan mungkin ... pembunuhan.

Seseorang yang pernah melihat cara saya memotong cake berkomentar, “Potongannya koq kecil-kecil, seperti orang kikir saja!”. Saya mengerti komentar tersebut datang karena perbedaan perspektif antara saya dan si komentator namun saya tidak menyangkal, selama bermenit-menit setelah komentar itu hati saya sempat meradang, dongkol. Karena dalam perspektif saya, saya lebih menyenangi potongan makanan termasuk kue yang bentuknya kecil karena saya bisa memakannya lebih dari sekali, dan lebih mudah bagi saya mengukur kapasitas lambung saya dengan ukuran yang kecil. Saya ini tipikal orang yang gampang merasa kenyang dengan hanya melihat potongan makanan yang besar-besar. Bukan rasa kenyang sungguhan yang datang dari lambung melainkan ‘kenyang mata’ yang kemudian memerintahkan otak untuk ‘melarang’ mengambil potongan tersebut karena jika saya memakannya maka saya harus menghabiskannya dan jika saya harus menghabiskannya maka saya akan kewalahan, sebaliknya jika saya tidak menghabiskannya berarti saya melakukan hal yang mubazir: satu hal yang tidak disukai Tuhan. Di samping itu, saya mempunyai kebiasaan makan sedikit-sedikit. Kalau makan nasi, saya tidak sekaligus meletakkan 2 sendok nasi di piring saya melainkan setengah sendok demi setengah sendok karena dengan demikian saya lebih menikmatinya. Begitu pula dalam memakan kue, saya lebih menikmati memakan kue dengan cara secomot demi secomot. Jadi komentar di atas saya jawab dengan: “Justru dengan potongan kecil-kecil orang bisa mengambil beberapa kali, kalau potongannya besar-besar orang hanya boleh mengambil satu kali ... “ (karena kalau mengambil lebih dari sekali bisa-bisa disangka doyan, lapar, atau ... rakus !!! Jadi sebenarnya yang mana yang kikir?.... lagi-lagi menyangkut perspektif kan?).

Di saat lain, suami saya bercerita tentang kebiasaan memasak ikan masak (Pallu Mara, masakan khas Makassar – terbuat dari ikan yang dimasak dengan cara direbus dengan air asam, kunyit, dan diberi bumbu bawang merah dan bawang putih) di keluarganya. Ada perspektif di keluarganya yang menilai cara masak dengan membanyakkan kuah, berarti kikir. Sehingga dalam keluarganya, masakan ikan tersebut tidak pernah dihidangkan ‘tenggelam’ dalam kuah. Sebaliknya, saya senang memasak jenis lauk itu dengan kuah yang melimpah karena baik saya ataupun suami menyenangi menikmati masakan itu dengan menyirami nasi banyak-banyak dengan kuahnya dan jika kuahnya habis sementara ikannya belum habis, saat dihidangkan di waktu makan berikutnya masakan itu serasa berkurang kenikmatannya terkecuali jika saya kembali memasak khusus kuahnya saja. Dan tentu saja, itu sama sekali tidak praktis. Meskipun suami saya telah menceritakan adanya perspektif tersebut, jika seandainya suatu ketika cara saya masak dikomentari, mungkin saja saya meradang, dongkol. Karena itu adalah reaksi wajar saya dari komentar negatif akan suatu hal yang sebenarnya relatif (tidak ada ukuran benar-salahnya). Komentar negatif akan membuat seseorang merasa disalahkan atau membuat seseorang terpaksa merasa bersalah. Padahal atas nama perspektif, kebenaran itu sering kali tergantung pada masing-masing individu dan bisa saja (dan sah-sah saja) berbeda. Tidak ada hadiah ataupun sanksi atas ‘kebenaran’ dan ‘kesalahan’ yang terjadi ...

Suatu ketika di saat saya dan suami sedang nonton TV, ada selingan iklan obat batuk. Dalam iklan itu, seorang ibu memuji menantunya yang memberikannya obat batuk mungil dengan harga terjangkau: Rp. 5.000,-. Kata ibu itu, menantunya hemat. Saya tertawa geli setelah melihat tayangan iklan itu karena tiba-tiba terlintas di benak saya perspektif lain. Saya berkata pada suami saya, “Kalau mertuanya baik, selalu berpikiran positif, ia pasti mengatakan hal itu. Mertua lain mungkin tidak, menantu seperti itu mungkin dinilai kikir, ngasih obat koq yang ukurannya kecil, bukannya besar. Sudah tentu karena harganya lebih murah ... !“.

Saya teringat berita di TVRI Makassar 3 tahun yang lalu. Tentang seorang tukang becak yang ditangkap polisi karena memukuli seorang turis Jepang yang sedang mabuk. Turis dari negeri matahari terbit itu rupanya ingin mencoba mengayuh becak dan karena sedang mabuk, tindakannya jadi tidak terkontrol. Tukang becak yang memiliki rasa ‘kebangsaan’ yang tinggi itu merasa tersinggung. Dengan dalih bangsa lain tidak boleh membawa becaknya karena ini tanah air Indonesia, ia memukul turis malang itu. Jangan coba-coba berusaha memahami sudut pandang si tukang becak walau pada kenyataannya begitulah perspektifnya (karena Anda mungkin takkan pernah bisa memahaminya). Yang jelas karena menyikapi perspektifnya dengan tindak pemukulan, ia terpaksa harus berurusan dengan yang berwajib ...

Makassar, Desember 2005

Pengembangan Diri Dunia-Akhirat

9 Januari 2007.

Malam ini, 2 orang teman, adik-adik dari almamater kami (Teknik Elektro UNHAS) datang ke rumah hendak mengcopy file guna keperluan tes bakat yang hendak mereka lakukan. Mereka berdua bertindak sebagai fasilitator dalam Talent Test yang akan dilakukan beberapa waktu ke depan.

Tes tersebut ditujukan untuk siswa-siswa SMA yang hendak melanjutkan pendidikan mereka ke jenjang S1 supaya tidak salah memilih jurusan. Melalui tes tersebut mereka dibantu untuk mampu mengenali potensi mereka yang sesungguhnya. Selain siswa SMA, tes tersebut ditujukan juga untuk pegawai-pegawai perusahaan rguna keperluan pemetaan karir mereka ke depannya, istilah kerennya ‘right man on the right place’. Tujuannya, supaya kinerja perusahaan ke depannya dapat lebih produktif tentu saja.

Selain itu, mereka berencana mengadakan semacam ‘after sales service ’ , berupa konsultasi setelah hasil tes diterima oleh peserta tes. Guna menjawab pertanyaan: “ Setelah tes, so what ?”.

Mereka berdua bertutur cukup ‘panjang lebar’ seputar tes tersebut. Di antaranya adalah bahwa keunggulan tes ini berikut pelatihannya adalah supaya setelah melakukan tes, tindak lanjutnya difokuskan pada potensi (kelebihan) peserta tes, bukannya pada kelemahan. Kelemahan untuk sementara diabaikan dulu karena dengan berfokus pada kelebihan, lama-kelamaan kelemahan akan tertutupi (mengecil). Ketimbang berfokus pada kelemahan, yang ada malah repot memperbaiki kelemahan dan lupa mengasah potensi.
***

Saya jadi teringat sebuah buku yang baru saja saya baca: “10 Anugerah Terindah Untuk Ananda, Cara Membesarkan Anak dengan Hati” yang ditulis oleh Steven Vannoy, juga memuat hal yang bersesuaian. Di antaranya dianalogikan dengan permadani indah dan noda di atasnya. Betapa pun indahnya permadani tersebut jika yang teramati hanya noda-noda di atasnya maka permadani itu tidak akan kelihatan keindahannya karena setelah itu, noda demi noda yang lain akan tampak dengan sendirinya. Tetapi jika yang diamati keindahan permadani itu maka noda-noda di atasnya dengan sendirinya malah tersamar.

Buku itu juga memuat berbagai kisah tentang pengasuhan anak, di antaranya kisah seseorang bernama Mike (pada halaman 221), sebagai berikut:
Usia saya 35 tahun dan orangtua saya masih memperlakukan saya seolah-olah saya masih berumur 5 tahun. Mereka mempertanyakan segala sesuatu yang saya kerjakan. Mereka biasa berkata, “Mengapa kau masih tetap melakukan pekerjaan yang tidak memuaskan itu?” atau “Apakah kau yakin warna setelan baju itu cocok denganmu?” Mereka menanyakan mengapa istri saya melakukan ini atau itu dan mengapa saya membiarkan anak-anak saya bertingkah laku seperti anak nakal, atau bukankah lebih baik jika kami pergi ke gereja di lingkungan yang dulu? Saya tahu mereka orang-orang yang sangat baik dan segala yang mereka lakukan bertujuan menjadikan saya orang yang bertanggung jawab, tetapi bagaimana saya bisa merasa bertanggung jawab jika mereka mempertanyakan setiap keputusan yang saya buat? Itu terus berlanjut sehingga saya tidak suka berbicara dengan mereka lagi, dan kami semakin sering mencari-cari alasan agar tidak usah mengunjungi mereka. Dan ini sangat disayangkan. Kesehatan ayah saya menurun dan saya ingin menemaninya selama sisa waktu yang dimilikinya daripada merasa ingin menghindarinya.


Menarik. Ternyata ada kesesuaian ‘konsep pelatihan’ dalam hal ini. Pelatihan pengembangan diri sebagai lanjutan dari Talent Test dan ‘pelatihan’ (baca: pengasuhan) anak. Bukan hanya dalam Talent Test. Buku-buku dan teori seputar pelatihan/pengembangan diri yang saya temui sejak mahasiswa hingga sekarang memiliki banyak kesesuaian dengan teori-teori pendidikan anak modern. Utamanya dalam hal yang berkaitan dengan pencapaian afeksi yang diharapkan. Hanya saja dibahasakan secara berbeda.

Saya kenal beberapa orang yang punya semangat melatih yang sangat tinggi. Mereka sangat menikmati bacaan-bacaan maupun kegiatan-kegiatan yang berhubungan dengan pengembangan diri. Mereka memiliki visi yang ideal dalam hal ini. Saya membayangkan apa jadinya anak-anak mereka kelak ... wow ... barangkali anak-anak mereka akan menjadi sumber daya handal yang dimiliki bangsa ini kelak. Sumber daya yang tidak hanya cerdas secara intelektual tetapi juga secara emosional dan spiritual. Karena sesungguhnya pengasuhan anak sejatinya adalah ‘program pengembangan diri‘ paket dunia-akhirat di mana pesertanya masih berupa ‘kertas putih yang masih kosong’ dan pelatih/instruktur/guru-nya adalah orangtua.

Sebenarnya ada yang tak kalah menariknya. Yaitu, orangtua sebenarnya ‘berperan ganda’. Tak hanya sebagai pelatih, sekaligus ia juga sebagai peserta. Sayangnya banyak orangtua yang tak sadar akan hal ini karena mereka beranggapan proses pengembangan dirinya sudah selesai padahal sejatinya manusia tak boleh berhenti belajar bahkan melalui anak/keturunannya. Tidak percaya ? Coba saja bercermin dari perilaku anak balita/remaja kita (catatan: jangan pada saat mereka sudah dewasa karena mereka pasti sudah belajar mengembangkan diri dari sumber-sumber lain, kepribadian mereka bukan lagi monopoli bentukan dari dalam rumah tetapi juga dari luar rumah). Coba simak cara mereka berpikir, berpendapat, mengeluarkan emosi negatif, bergaul dengan orang lain, bereaksi terhadap suatu masalah, dan lain-lain. Kalau bukan meniru orangtuanya, mereka pasti memiliki perilaku yang merupakan reaksi dari perilaku orangtua terhadap mereka. Sekali lagi: tidak percaya ? Ah, cobalah jujur. Steven Vannoy saja berpendapat demikian, ini tersirat dan tersurat sangat banyak dalam bukunya yang saya sebutkan di atas. Siapakah Steven Vannoy ? Oh, dia adalah salah satu penulis buku laris di Amerika sana yang memiliki pengalaman 25 tahun dalam kepemimpinan dan pelatihan. Dia diakui sebagai salah satu pakar terkemuka di Amerika dalam bidang membangun budaya perusahaan, komunitas, dan keluarga yang sehat.

Ini sungguh tantangan yang sangat menarik bagi para pecandu pelaksana pelatihan karena hasilnya bukan saja akan mereka saksikan di dunia ini, tetapi juga di akhirat. Dan saya yakin, jikalau hasilnya memuaskan (yah ... katakanlah rapornya dapat nilai ‘A’ dari Yang Mahakuasa) sang orangtua pastilah menjadi orang yang sangat bijaksana dan ia pasti memiliki ikatan batin yang sangat tulus dengan keturunannya. Hmmm .... indahnya ....

Makassar, ..... selesai 1 Februari 2007

Maniri Menyapih

Saya merasa sangat beruntung sebagai seorang ibu karena berhasil menyusui Affiq (4 tahun) secara eksklusif selama 6 bulan sejak kelahirannya. Hasilnya, saya membuktikan sendiri keunggulan ASI eksklusif plus kolostrumnya: Affiq tumbuh sehat dan daya tahan tubuhnya bagus, berat badannya rata-rata naik 1 kg setiap bulannya, ia tidak tertular meski saat saya dan papanya berkali-kali terkena pilek dan batuk. Dan di saat-saat kami sakit pun saya tetap menyusuinya tanpa menggunakan masker. Yang tak kalah pentingnya: bonding di antara kami tumbuh dengan mesranya.
Usia 6 bulan, Affiq mulai makan makanan yang sesuai untuk bayi seusianya. Dia masih minum ASI sampai usia 10 bulan. Saat itu saya mulai mengenalkan susu formula padanya, diminumkan sesekali melalui gelas.
Suatu ketika di usia 14 bulan, Affiq menolak saat hendak saya susui. Saat memasukkan puting susu ke mulutnya, ia meningkahinya dengan bermain. Saya terus mencoba. Affiq terus bermain. Saat mulai bosan, dia marah. Meskipun begitu saya masih tetap dengan kegigihan saya hingga tiba pada puncak kejengkelannya, dia menggigit puting susu saya. Sakit, tentu saja. Tetapi saya masih terus mencoba menyusuinya. Keinginan untuk dapat menyusuinya selama 2 tahun begitu besarnya sehingga saat itu saya rela walau kena gigit. Beberapa kali saya coba, dia masih tetap menggigit. Akhirnya, kami berdua menangis. Saya menangis putus asa, sementara Affiq menangis karena marah.
Beberapa kali, rangkaian adegan itu berulang. Hingga akhirnya beberapa hari kemudian saya pasrah dan membiarkan ASI saya diserap kembali oleh tubuh. Affiq pun tersapih dengan sendirinya, dengan ‘keputusan’-nya sendiri. Apa boleh buat, rasanya sedih tetapi yang paling penting Affiq tetap tumbuh dengan sehat, cerdas, dan lincah - hingga sekarang.
Satu kenangan unik bersama Affiq yang saya miliki ini, meski membuat saya sedih dan agak cemburu pada ibu-ibu yang bisa menyusui balita mereka hingga usia 2 tahun justru membuat ibu-ibu itu balik merasa cemburu pada saya karena saya tidak perlu seheboh mereka dalam hal usaha menyapih buah hati mereka. Saya tidak perlu melakukan berbagai usaha membaluri puting susu dengan segala macam zat yang berasa pahit ataupun asam karena ‘inisiatif' stop breastfeeding datangnya dari buah hati saya sendiri ...........................

Makassar, Juli 2005

Menjadi Ibu

Secara medis, saya dan suami sulit memiliki anak. Berdasarkan hasil pemeriksaan dokter spesialis kandungan di awal pernikahan kami, masing-masing dari kami memiliki masalah spesifik yang membuat kami berdua sama-sama sangat jauh dari subur. Saat itu dokter sampai memberikan gambaran mengenai inseminasi buatan dan program bayi tabung yang mungkin harus kami jalani.
Menjelang 1 tahun usia pernikahan kami, saya dan suami menjalani semacam terapi dengan obat-obat penyubur, selain itu dokter juga meminjamkan kami Maybe Baby - alat pengetes masa subur. Mulanya saya hanya mendapatkan dosis 1 x 1 Profertil (obat penyubur). Bulan-bulan berikutnya dosisnya ditingkatkan oleh dokter hingga 1 x 3. Dari cerita teman saya, ia hanya perlu mengkonsumsi obat tersebut dengan dosis 1 x 1 sampai akhirnya hamil. Tetapi ternyata tidak demikian halnya dengan saya. Meskipun dosis obat tersebut ditingkatkan (sementara suami saya juga tetap mengkonsumsi obat), saya belum juga berhasil hamil.
September 2000, kami berobat secara alternatif pada seorang tabib. Saat itu semua obat dokter yang sedang dikonsumsi kami tinggalkan. Kami hanya berobat pada tabib tersebut dan pasrah pada ketentuan Allah. Bukannya mengecilkan pengobatan medis, hanya saja kami lebih memilih obat alami, tanpa efek samping sama sekali, lagi berkah (air putih yang dibacakan do’a). Alhamdulillah, mendekati penghujung tahun 2000 saya hamil dan melahirkan seorang bayi laki-laki yang sehat pada 9 Juli 2001, di saat pernikahan kami menginjak usia 2 tahun. Bayi itu kami beri nama Muhammad Affiq Khalid Ghiffari Solihin.
Kalau saat itu ditanya mengapa saya ingin punya anak, terus terang saya tidak tahu jawaban pastinya. Mungkin karena saya melihat betapa bahagia dan terlihat lengkapnya teman-teman saya yang telah memiliki anak, atau mungkin juga karena saya bosan ditanya sana-sini dengan pertanyaan yang isinya sama tetapi dilontarkan dengan redaksi berbeda-beda: “Sudah hamil?”. Belum lagi, ada yang merespon jawaban “Tidak” saya dengan kalimat “Koq bisa?”, dengan mimik yang menusuk hati. Yang jelas semua itu membuat saya berusaha untuk bisa hamil.
Kalau sekarang ditanya, bagaimana rasanya dititipi anak oleh Yang Mahakuasa, jawaban saya adalah nikmat luar biasa. Dan rasa nikmat itu tidak bisa saya ungkapkan seluruhnya dengan kata-kata, bahkan dengan semua kosa kata yang saya miliki karena nikmat itu sangat meresap dan membungkus hati saya dan sering membuat saya menitikkan air mata haru.
Mulai dari nikmat keberhasilan pemberian ASI eksklusif dalam 6 bulan pertama kehidupannya hingga apa yang saya rasakan sekarang saat Affiq sudah berusia 5 tahun. Saya merasakan manfaat luar biasa dari ASI eksklusif, terutama pada kesehatan Affiq. Dibandingkan bayi-bayi lain seusianya yang tidak mendapatkan ASI eksklusif, Affiq tumbuh lebih sehat dan tak kalah montoknya. Bahkan di saat saya dan suami beberapa kali terserang flu, ia tak tertular. Berat badannya juga bertambah dengan signifikan, rata-rata 1 kg per bulannya. Bulan demi bulan hingga berbilang tahun, perkembangan kecerdasannya menggembirakan. Alhamdulillah, di usia 3 tahun 4 bulan ia memperdengarkan saya kata pertama yang berhasil ia eja: “JANE”, kata itu tertera di kursi balitanya. Sambil bermain, ia memang saya ajarkan mengenal huruf sejak ia berusia setahun kemudian perlahan-lahan saya ajar mengeja melalui bermacam media termasuk komputer (di antaranya melalui software Power Point), juga sambil bermain. Hingga menjelang usia 4 tahun ia sudah bisa membuat file presentasinya sendiri dengan animasi yang diinginkannya. Sungguh nikmat menjadi orang pertama yang menyaksikan pertumbuhan dan perkembangannya, sejak ia tidak tahu apa-apa hingga ia mengetahui cukup banyak, sejak ia belajar berjalan hingga ia bisa berlari. Sejak ia belum bisa bicara hingga ia fasih mengoceh, menanyakan apa saja, dan bereaksi secara verbal dengan lontaran-lontaran yang tak terduga. Dan masih banyak lagi.
‘Mendeteksi’ kemiripan antara Affiq dengan saya atau papanya, atau dengan kakek-kakek dan nenek-neneknya maupun om-om dan tante-tantenya juga mendatangkan kenikmatan tersendiri bagi saya. Sangat menakjubkan. Betapa Mahakuasanya Tuhan, dari setetes mani, segumpal daging yang terus berproses menjadi sel-sel yang membelah sampai menjadikannya bayi dalam rahim saya lalu kemudian lahir dan bertumbuh-kembang hingga usianya 5 tahun sekarang ini, ia memiliki banyak kemiripan dengan kami tetapi sesungguhnya dia adalah individu unik. Dengan perpaduan kemiripan itu semua ia justru membentuk postur yang unik, karakter, sikap, dan cara berpikir yang juga unik. Mengagumkan!
Menyelami kedalaman mata Affiq, sungguh kenikmatan luar biasa bagi saya. Nikmat yang tidak pernah berkurang rasanya sejak saya menatapnya sambil menyusui hingga di saat-saat sekarang ini, jika menatapnya yang sedang berceloteh riang tentang apa saja.
Menyaksikan keriangannya saat bermain, saat membuka lembaran buku kesayangannya, saat menggoda saya dan suami juga menciptakan kenikmatan luar biasa di hati saya. Pada kenyataannya, sungguh – saya tidak sanggup bercerita secara verbal semua nikmat luar biasa yang dianugerahkan Allah melaluinya. Segala nikmat yang tentu saja membuat saya merasakan makna menyandang predikat ‘ibu’.
Saya tidak pernah berobat secara medis lagi untuk bisa hamil setelah melahirkan Affiq. Baik saya maupun suami juga tidak menggunakan peralatan kontrasepsi dalam keintiman kami. Tetapi kami masih mengunjungi tabib pengobatan alternatif yang dahulu mengobati kami. Atas kehendak Allah, saya hamil di tahun 2006 ini. Betapa suka citanya kami. Di saat Affiq kami kabari tentang kehamilan saya, ia kelihatan berpikir. Kemudian, sambil menatap perut saya yang mulai membuncit terlontar pertanyaan ini dari mulut mungilnya: “Mama makan bayi?”. Saya bilang, “Tidak, Allah yang menaruh adik bayi dalam perut Mama”. Tetapi konsep ini masih sangat abstrak baginya. Berulang kali ia melantunkan kalimat ini: “Mama makan bayi …. Mama makan bayi …. “.
Affiq juga menciptakan cerita sendiri tentang ‘kehamilannya’. Ia ikut-ikutan hamil! Ia mengatakan di dalam perutnya ada bayi perempuan. Suatu saat terdengar bunyi yang berasal dari perutnya, ia berkata: “Perutku bunyi, bayinya sendawa”. Di saat lain, ketika ia sedang malas bergerak, ia berkata pada saya, “Mama, saya tidak bisa bergerak, saya hamil. Di perutku ada bayi”. Atau saat ia menginginkan jenis makanan tertentu, ia meminta kepada saya dengan dalih yang meninginkan makanan itu adalah bayinya!
Alhamdulillah kehamilan saya kali ini sangat nikmat. Walaupun dari bulan ke bulan perut saya makin membesar, saya masih bisa mengerjakan tugas-tugas kerumahtanggaan. Dan seperti kehamilan terdahulu, saya tidak punya masalah dengan ngidam. Nafsu makan saya bahkan biasa-biasa saja, demikian pula keinginan saya terhadap sesuatu pun biasa-biasa saja.
Hasil USG rahim saya pada tanggal 28 Juni 2006 menunjukkan janin dalam kandungan saya berusia 26 minggu 3 hari. Kemudian USG pada tanggal 26 Juli 2006 menunjukkan usia janin saya 30 minggu 3 hari, jenis kelaminnya sudah terlihat jelas. Waktu itu, hasil USG menunjukkan tanggal perkiraan melahirkan adalah 1 Oktober 2006. Mengenai jenis kelamin, saya dan suami menyerahkan saja sepenuhnya pada kehendak Yang Mahakuasa, kami tidak berani berharap banyak. Diberi kesempatan hamil saja sudah merupakan karunia yang tak terhingga bagi kami. Pasutri yang salah satunya saja kurang subur sangat sulit punya anak, apa lagi yang seperti kami ini, yang keduanya kurang subur. Yang subhanallah – ajaib, hasil USG pada tanggal 24 Agustus 2006 menunjukkan usia kandungan saya 36 minggu 2 hari, dan tanggal perkiraan melahirkan 18 September 2006! Masya Allah ... saya terkagum-kagum dengan hal ini. Allah mendiskon masa penantian saya sebanyak 2 minggu! Lalu, saat mendengar lantunan ayat suci dari pengeras suara masjid menggemakan ayat yang artinya: “Maka nikmat Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan ?”, air mata haru tergenang di sudut-sudut mata saya. Ya, nikmat mana lagi yang saya dustakan ? Tidak, tidak ada nikmat-NYA yang pantas saya dustakan apalagi nikmat dirahmati seorang anak laki-laki, dan sekarang ini diizinkan mengandung seorang bayi lagi ...
Saya berharap bisa lebih baik lagi dalam menjalankan tanggung jawab sebagai seorang ibu dan Affiq bisa menerima kehadiran adiknya dengan baik. Dan, apakah ‘prediksi’ Affiq tentang jenis kelamin adiknya benar atau salah ... saat tulisan ini dibuat saya sedang menghitung hari ...

Makassar, ditulis pada 29 Agustus 2006
Tulisan ini pernah diikutkan lomba menulis salah satu produk susu tetapi belum beruntung. Dimodifikasi pada tanggal 1 Februari 2007.

Saat Hati Lapang Menerima Kritik (Memaknai Kritik)

Sewaktu masih mengandung Affiq (tahun 2001), di Rumbai – Pekanbaru, saya mendengar cerita dari ibu-ibu Caltex bahwa ada seorang bidan yang galak dan judes, namanya bidan Lani. Ada saja cerita ‘seram’ seputar bidan (yang kata orang perawan tua) ini yang saya dengar. Jadi, di samping persiapan fisik-mental menghadapi kelahiran Affiq, saya juga mempersiapkan diri secara mental untuk menghadapi bidan ini. Ya, paling tidak nantinya kalau nasib mempertemukan kami, saya tidak perlu stres lagi ... seperti persiapan menghadapi OPSPEK sewaktu maba dulu.

Sewaktu saat melahirkan tiba, saya bersyukur karena tidak bertepatan saat bidan Lani berjaga. Saya dibantu oleh 2 orang bidan profesional, yang satunya baik dan cukup lembut, yang satunya punya mulut yang nyaris setajam pisau tetapi tidak ada artinya kicauannya saat itu dibanding rasa sakit dan perjuangan melahirkan Affiq.

Akhirnya, nasib mempertemukan bidan Lani dengan saya. Kala itu, keesokan hari setelah melahirkan saya kebingungan karena hendak menyusui Affiq. Tetapi karena saya masih dalam proses belajar menyusui dan Affiq juga masih belajar menyusu maka saat-saat itu masih belum menyenangkan bagi kami. Alhasil Affiq tidak mendapatkan ASI dengan maksimal sehingga ia pun merengek-rengek lapar dan kesal. Saya kebingungan dan mencari bidan untuk membantu saya. Kebetulan ada bidan Titin – bidan pujaan sebagian besar ibu-ibu di Caltex. Ia membantu saya dan membawakan cairan glukosa. Tiba-tiba dari ruangan sebelah muncul bidan Lani menginterupsi. Saya terpaksa menjelaskan kembali kepadanya apa yang saya alami saat itu. Bidan Titin hanya diam terpaku melihat seniornya menatap saya dengan tajam sementara saya menjelaskan situasi saat itu. “Tidak usah diminumkan cairan gula, diusahakan terus ASI-nya. ASI penting sekali untuk bayi ....... “ bla ... bla ... bla .... Ia menggiring saya masuk kembali ke dalam kamar dan mendudukkan saya di kursi. Sambil menjelaskan mengenai pentingnya ASI. Saat saya hendak meletakkan bantal di pangkuan saya, dengan tegas ia mengambil bantal itu dan mengembalikannya di tempat tidur: “Tidak usah pakai bantal”, katanya. Ia mengajarkan saya posisi menyusui yang baik dan benar, dengan tegas dan lugas, sama sekali tidak dengan cara lembut. Kemudian, Affiq berhasil mendapat susunya, mulutnya bergerak-gerak mengisap dan lambat laun ia tertidur, wajahnya tenang dan puas. “Terimakasih, Bu”, kata saya. “Iya”, katanya, masih tanpa senyum, sambil memberikan saya penjelasan singkat mengenai tata laksana menyusui.

Olala, rupanya cara seperti itu yang tidak disukai ibu-ibu Caltex. Menurut saya tidak seseram cerita–cerita yang beredar. Apa yang bidan Lani lakukan menurut saya wajar-wajar saya. Mungkin saja, ia tidak terlalu suka dengan ibu-ibu yang manja. Kelihatannya ibu-ibu itu inginnya dimanja setelah perjuangan di ambang hidup dan mati melahirkan buah hati mereka.

Satu hal, bidan Lani adalah salah satu karyawan rumah sakit Caltex Rumbai yang terbaik. Selama 2 tahun berturut-turut ia menyandang predikat itu. Piagam penghargaan untuknya terpampang di dinding rumah sakit, di bagian OBGYN (Obstetri & Gynecology).

3 bulan kemudian, saat saya & suami hendak mengimunisasi Affiq di RS Caltex Rumbai, saya berpapasan dengan bidan Lani. Saya senyum padanya, ia membalas dan menghampiri kami. Betapa senangnya ia melihat kemontokan Affiq. ASI eksklusif memang membuat Affiq sehat dan montok. Bidan senior yang ternyata bisa ramah itu berbincang singkat dengan kami sebelum berlalu.

Di salah satu kantor MLM Cabang Makassar, pernah ada kepala cabang (sebut saja Pak W) yang saat ia menjabat, di tahun 2002 Sulawesi Selatan berhasil mencapai predikat sebagai cabang terbaik seindonesia. Ironisnya, tak sedikit distributor yang membencinya – bahkan sampai ingin memukulnya hanya karena tidak menyukai cara ia menyampaikan sesuatu yang mungkin bagi sebagian orang ‘ nyelekit ’. Ia memiliki gaya kepemimpinan yang unik, tak jarang ia memberikan ‘kuis’ versi dirinya dan memberikan award bagi orang-orang yang berhasil menjawab ‘kuis’-nya ataupun pada orang-orang yang ia anggap layak.

Banyak orang seperti mereka yang tidak diterima oleh banyak orang hanya karena cara penyampaian mereka yang tidak cocok dengan banyak orang. Walaupun apa yang mereka sampaikan benar adanya, dan merupakan kritik yang biasa, bagi banyak orang hal tersebut seperti serangan kepada pribadi mereka. Entah apa yang perlu diperbaiki dalam hal ini, keluasan hati banyak orang untuk menerima kritikan, ataukah cara orang-orang ini mengkritik ? Tapi jangan lupa, mereka adalah sedikit dari orang-orang berprestasi yang dimiliki bangsa ini. Mereka tampil apa adanya ... tidak perlu dengan cara dibuat-buat ... hanya untuk mengambil simpati orang banyak.

Mudah-mudahan acara TV seperti AFI (Akademi Fantasi Indosiar) dan kontes-kontes bakat lainnya yang masih marak di dunia pertelevisian Indonesia bisa menjadi salah satu solusi bangi pertanyaan-pertanyaan di atas. Hal-hal positif yang ditawarkan dari kontes seperti itu adalah menyiapkan kontestan untuk menerima kritikan bagi performance atau sikap mereka, bukannya kritikan terhadap pribadi mereka. Dan, komentator diharapkan melontarkan kritik dengan jujur tetapi etis karena jika ke-2 hal tersebut tidak ada dalam komentar mereka maka bukan hanya kontestan atau penonton di tempat acara yang akan mencerca mereka, tetapi juga masyarakat Indonesia raya !

Mudah-mudahan generasi setelah kita lebih luwes dalam hal kritik meng-kritik.
Tapi, kapan ya ada program TV yang isinya memungkinkan masyarakat Indonesia belajar mengkritik yang lebih tua/pintar, di mana pengkritik (yang lebih muda/bodoh) belajar ‘kebebasan mengemukakan pendapat dengan jujur dan etis’ dan yang dikritik (yang lebih tua/pintar) belajar berlapang hati menerima kritikan tanpa ada rasa superior dalam diri mereka hanya karena asam-garam yang sudah mereka makan sangat banyak ?


Makassar, Agustus 2005

Kepolosan Ifa

Kelahiran bayi mungil yang bernama lengkap ‘Rifqah Zhafira Khairunnisa Rifai’ (Ifa) dari rahim satu-satunya adik perempuan saya, Mirna yang hanya berselisih usia 15 bulan dengan saya, otomatis membuat saya jatuh cinta padanya. Saya ikut meneteskan air mata saat dengan perjuangan yang sangat berat (2 hari 2 malam), Mirna melalui proses pembukaan demi pembukaan, beberapa kali induksi, dan akhirnya harus dioperasi karena ternyata persalinan normal tidak bisa dilaluinya. Setelah itu, dengan senang hati saya men-support Mirna menyusui secara eksklusif walaupun Ifa sempat diberi susu formula saat masih di rumah bersalin. Alhamdulillah Ifa mendapatkan ASI eksklusif selama 6 bulan (dilanjutkan bersama dengan makanan pendamping sampai usianya 2 tahun). Kami juga bersama-sama memandikan Ifa di hari-hari pertamanya di dunia ini karena suami Mirna, Rifai harus segera kembali ke kota nikel-Sorowako karena cutinya sudah selesai sehingga tidak dapat mendampingi Mirna di hari-hari pertama kehadiran buah hati mereka.
Bulan demi bulan berlalu, Ifa tumbuh menjadi bayi mungil yang cantik. Tak sedikit orang yang mengatakan ia mirip sekali dengan saya. Sampai bertahun-tahun berikutnya, masih ada juga orang yang mengatakan ia mirip dengan saya. Bahkan seorang sahabat saya mengatakan bahwa Ifa lebih mirip saya ketimbang Rifai. Sebenarnya saya heran juga karena menurut saya, wajah Ifa itu gabungan papa dan mamanya. Dan sebenarnya makin lama ia makin mirip dengan Rifai. Yah, garis wajah saya memang ada kemiripan dengan Mirna tapi terus terang, makin lama saya tidak melihat kemiripan antara Ifa dan saya. Mungkin, ada garis-garis wajah Ifa yang mirip mamanya yang juga mirip dengan saya. Namun saya tidak menutupi perasaan senang saya. Dan hal ini juga membuat saya jatuh cinta untuk yang kedua kalinya pada si mungil Ifa … Makin lama, makin banyak hal yang membuat saya semakin cinta padanya. Di antara hal-hal itu adalah kepolosannya. Kepolosan gadis mungil kelahiran 6 Juni 2002 yang membuat saya belajar banyak hal tentang ketulusan dan merasakan hal-hal indah dalam batin saya.
Saat Ifa masih berusia 2 tahun, suatu ketika Rifai harus bekerja hampir sehari penuh selama seminggu. Saat itu Ifa nyaris tidak bisa bertemu papanya meski sekamar. Papanya pergi kantor lepas subuh saat ia masih tidur, dan baru pulang ke rumah di malam hari di saat ia sudah terlelap. Di hari ke-6 ia bertingkah, seolah-olah menunda waktu tidurnya. Sampai akhirnya pada pukul 9 malam, ia menangis dan mengatakan bahwa ia rindu pada papanya. Rupanya gelagat rewelnya pada malam itu merupakan pernyataan bahwa ia ingin menunggu papanya supaya bisa bertemu. Rifai pasti menyadari betapa ia bapak yang beruntung. Anak berusia 2 tahun itu bisa mengekspresikan perasaan sedalam dan seberharga itu padanya. Tidak banyak bapak yang mendapatkan penghargaan serupa itu dari balitanya. Rifai – sedikit di antaranya.
Ada dua kali di saat usia Ifa 3,5 tahun, ia meminta Mirna menginterlokal saya (Sorowako berjarak ± 700 km arah timur laut Makassar). Katanya ia ingin bicara dengan saya. Sayangnya saat-saat itu saya tidak berada di rumah, karena sedang menghadiri suatu acara sehingga tidak bisa dihubungi meski via jaringan seluler. Ifa menangis, tetap ngotot hendak bicara dengan saya sehingga mamanya kewalahan. Saya tidak tahu apa yang membuatnya begitu ingin berbicara dengan saya. Yang saya tahu, saya merasa begitu terharu, ada gadis mungil yang kala itu memerlukan saya! Berkali-kali setelahnya, ia dengan tulus meminta bicara dengan saya di telepon saat mamanya rutin menelepon orangtua kami (saya dan keluarga kecil saya masih tinggal bersama orangtua kami) untuk menceritakan dengan bersemangat apa saja yang tengah dilakukannya. Saya dengan senang hati pasti akan menimpali dengan akrab topik yang diceritakannya.
Seperti Mirna memperlakukan Affiq – anak saya, saya pun memperlakukan Ifa selayaknya anak sendiri, dengan ketulusan dan kelembutan seorang ibu sehingga pada akhirnya beberapa kali Ifa mau ditinggal dengan saya di kala Mirna harus menyelesaikan urusan-urusannya saat mereka ke Makassar. Tidak mudah mendapatkan kepercayaan dari Ifa bahwa ia nyaman bersama saya. Awal-awalnya ia sama sekali tidak mau ditinggal oleh mamanya, mau ikut ke mana pun mamanya pergi. Namun akhirnya ia membuat saya merasa berharga merasakan ketulusan kepercayaannya pada saya. Hal lain yang membuat ia merasa nyaman adalah karena ia sudah merasa dekat dengan Affiq – putra semata wayang saya, yang berusia 4,5 tahun. Seringkali bila mama atau papanya membelikannya sesuatu, ia minta agar Affiq juga dibelikan. Affiq pun ‘ketularan’, walaupun Ifa sedang berada di Sorowako ia pun sering meminta Ifa dibelikan barang yang sama dengan miliknya. Kedua bocah ini memang saling berbagi dengan tulus. Bukan hanya itu, dalam banyak hal mereka juga saling mempengaruhi dan saling mengajari. Di antaranya, secara tidak langsung, Ifa yang sangat koleris mengajari Affiq cara survive dalam interaksi mereka. Dan sebaliknya, Ifa belajar untuk lebih mengalah dari Affiq. Affiq memang sangat plegmatis dalam interaksi awalnya dengan sesama balita namun pada akhirnya ia akan memutuskan untuk ‘survive’ jika merasa terdesak apalagi jika ia sampai kena pukul dalam interaksi itu.
Suatu ketika di bulan Januari 2006, Rifai ditugaskan kantornya ke pulau Jawa. Mirna dan Ifa tinggal di Makassar selama 1 minggu. Suatu hari kami membawa kedua balita ini ke tempat bermain di sebuah mal, lalu makan siang di restoran fast food yang juga memiliki tempat bermain. Seperti biasa jika keluarga kecil Mirna sedang berada di rumah kami, beberapa hari itu saya menyuapi Ifa, bergantian dengan Affiq. Saat Mirna hendak menyuapinya kali ini, ia menggeleng sembari berkata, “Ifa mau disuap sama tante Niar saja”. Duh Nak, kalimat yang sangat sederhana itu membuat saya kembali merasakan penghargaan yang begitu tulus darimu. Penghargaan yang tidak mudah diserah-terimakan di dunia orang dewasa yang penuh kepentingan, intrik, dan egoisme ini.
Keesokan harinya, iseng-iseng saya katakan padanya, “Ifa anaknya tante Niar toh ? kan kemarin waktu makan ayam Ifa tidak mau disuap sama Mama. Yang suap Ifa kan tante Niar”. Saya mengamati wajahnya. Ia kelihatan sedang menyimak apa yang baru saya katakan padanya sembari berpikir. Tak lama kemudian ia mengangguk, seolah kalimat saya barusan masuk akal baginya. Kemudian saya bertanya, “Jadi, Ifa anak siapa?”. Ifa menjawab mantap, “Tante Niar!”. Beberapa hari berikutnya jika saya tanyakan padanya ‘Ifa anak siapa’, ia menjawab (masih dengan mantap): ‘Tante Niar’. He .. he ... senang juga mendengar ia mengatakan itu dengan tulus …
Tiba saatnya Rifai kembali dari perjalanan dinasnya. Di suatu ketika ia bersenda gurau dengan gadis mungil itu. Satu kalimat terlontar dari Rifai, “ ….. Ifa kan anaknya Papa ….”. Saya yang berada di dekat mereka tidak menyana Ifa membantah, “Bukan, Ifa anaknya tante Niar …. “. Wah, saat itu baru saya sadari kesalahan saya karena ternyata saya telah mengindoktrinasinya dengan logika yang ngaco …
Sederhana, tingkah laku Ifa seperti juga tingkah laku balita-balita lain di dunia ini. Sebenarnya bukan hal yang teramat istimewa. Namun ternyata dalam menyimak tingkah lakunya, banyak hal yang bisa disimak. Salah satunya adalah ketulusan yang tampak dari kepolosannya. Ketulusan yang mungkin muncul sebagai reaksi dari ‘perlakuan baik’ orang yang berinteraksi dengannya. Atau mungkin lebih dalam lagi, ketulusan yang muncul sebagai reaksi dari ketulusan yang bersumber dari ‘suara hati’ orang yang berinteraksi dengannya yang kemudian tertangkap oleh ‘radar suara hati’-nya. Dan seperti kita ketahui, ‘radar’ balita yang masih polos tersebut belum tercemari oleh hal-hal yang membelenggu suara hati banyak orang dewasa*.

Catatan:
* Ary Ginanjar Agustian dalam buku Emotional-Spiritual Quotient-nya menyebutkan 7 hal yang bisa membelenggu suara hati seseorang: Prasangka negatif, yang menyebabkan orang lupa berprasangka positif; prinsip hidup yang terlalu bersifat duniawi; pengalaman pahit yang membentuk paradigma picik; kepentingan egoisme yang pada akhirnya menyebabkan salah menetukan prioritas; sudut pandang yang terlalu sempit sehingga dengan tidak bijak menafikan sudut pandang lain yang jauh lebih besar; pembanding yang terlalu mapan sehingga menafikan adanya pembanding-pembanding lain, membuat orang menilai sesuatu karena pikirannya sendiri, bukan karena apa adanya sesuatu itu; dan literatur yang terlalu subyektif dan tidak bersumber dari Sang MahaPencipta.
Hope to see she grows up.
Makassar, 21 Februari 2006

Lain Dulu Lain Sekarang

Saya ingat masa kecil, sekitar akhir tahun 70-an sampai pertengahan tahun 80-an. Waktu itu banyak sanak saudara yang tinggal di rumah. Mereka berasal dari kampung papa saya (Soppeng, daerah tingkat dua yang letaknya hampir 200 km di sebelah utara Makassar) dan dari daerah asal mama saya (Gorontalo – dahulu bagian dari propinsi Sulawesi Utara). Mereka merantau ke Makassar (dahulu namanya masih Ujungpandang) untuk melanjutkan sekolah (SMU atau kuliah), dan ada juga yang ingin mencari pekerjaan. Maklum, Makassar adalah kota terbesar di Indonesia timur, sehingga menjadi pusat perhatian bagi masyarakat Indonesia bagian timur yang hendak melanjutkan pendidikan atau mencari nafkah.
Saat itu rumah orangtua saya tidak pernah sepi oleh sepupu-sepupu, tante-tante,dan om-om, begitu pula rumah keluarga yang lain, juga teman-teman saya. Umumnya, rumah mereka menjadi tempat tinggal bagi keluarga mereka yang merantau ke Makassar untuk tujuan-tujuan di atas.
Saya melihat kondisi sekarang sangat jauh berbeda. Rumah kami sepi dari keluarga. Rumah keluarga yang lain, dan juga rumah orangtua teman-teman saya pada sepi. Bahkan banyak yang anak-anaknya sudah mandiri, terpaksa tinggal seorang diri di rumahnya, atau hanya ditemani pembantu. Jarang sekali, bahkan tidak ada lagi sanak saudara yang tengah merantau, menumpang tinggal seperti dulu.
Sekarang, SMA sudah bertambah banyak di seantero kota dan desa di daerah tingkat dua. Bahkan universitas atau sekolah tinggi sudah ada sampai di ibukota kabupaten. Yangmana, hal tersebut belum ada pada era 70 – 80-an. Sehingga banyak dari warga kabupaten memilih melanjutkan pendidikan – SMA dan pendidikan tinggi di wilayah lokal mereka.
Suatu pagi, saya mendiskusikan hal ini dengan suami saya. Saya berpendapat kami sudah harus siap untuk hidup sendiri di hari tua nanti, tanpa mengharapkan bantuan dari sanak saudara, bahkan dari Affiq – anak kami, sekalipun. Karena kelak ia akan punya kehidupan, rutinitas, dan kesibukan sendiri dan kami tidak mungkin membebaninya dengan harus mengurusi kami.

Tidak masalah sih kalau Affiq nanti dengan suka rela mau mengurusi kami. Namun sebagai orangtua, kami sudah harus belajar untuk memilah-milah, kapan bisa bicara/turut campur dan kapan harus diam. Tidak terjebak doktrin: “Yang paling banyak makan asam garam adalah yang lebih tahu”. (Padahal kedewasaan bukanlah ditinjau dari segi umur). Sehingga tidak selalu merasa berhak berpendapat tanpa melihat situasi dan kondisi. Artinya, kami harus bijak dan mendewasakan Affiq dengan ‘kebebasan berpendapat yang terarah’ sehingga kelak tidak ‘mengacaukan’ stabilitas rumah tangganya dengan kesoktahuan kami.
Suami saya menimpali topik yang saya gulirkan: “Wajar saja. Sekarang perantau lebih suka tinggal di kamar kos. Semakin lama, di Makassar semakin banyak saja rumah yang menyewakan kamar kos”. “Iya, sih”, kata saya, “Dengan memilih tinggal di kamar kos, mereka tidak perlu sungkan dengan ibu kos sampai perlu membantu menyelesaikan pekerjaan rumah tangga di rumah utama karena mereka membayar sewa kamar per bulannya, termasuk listrik, air, telepon, bahkan sampai makanan. Tugas mereka hanyalah belajar atau bekerja. Dahulu, perantau yang menumpang tinggal di rumah keluarga biasanya harus membantu menyelesaikan pekerjaan rumah tuan rumah. Karena tuan rumah biasanya tidak memiliki pembantu rumah tangga, dan karena mereka tidak perlu membayar sewa apapun di rumah itu, wajar saja jika mereka harus tahu diri dengan membantu meringankan pekerjaan rumah tangga yang tidak pernah ada habisnya”.
“Di Indonesia, menitipkan orangtua di panti jompo masih sangat tabu. Norma-norma yang berlaku juga mengajarkan setiap anak untuk ganti mengasuh orangtua mereka setelah mereka mandiri. Tapi mungkin orangtua muda yang sebaya kita, mesti mencoba mulai berpikir jikalau suatu saat nanti mereka harus hidup di panti jompo dengan sukarela”.
Bukannya hendak mengajarnya menjadi anak durhaka, hanya saja ditilik dari hal-hal yang terjadi dari dulu hingga sekarang, kehidupan makin bersifat individualis, saat ini kebanyakan rumah hanya diisi oleh keluarga batih: ayah – ibu – anak mereka. Yang memiliki pembantu pun harus dipusingkan dengan urusan keluar-masuknya pembantu mereka. Jadi, jika kelak kami hidup di tengah rutinitas keluarga kecil itu, tanpa pembantu pula, ya ... mungkin saja ada alternatif lain? Membebankan hidup kepada pembantu (yang khusus mengurusi manula) atau pekerja sosial, sempat juga terpikir oleh saya. Tetapi setelah dipikir-pikir lagi, harus dipikirkan berkali-kali bagaimana jika seandainya sulit mendapatkan orang yang dapat dipercaya. Alih-alih, malah ditipu, dirampok, bahkan dibunuh ..... HIIIIIIIIIIIIIIIIII
Ya, orangtua saya dan saya hanya berbeda satu generasi dan keadaan sosial kami telah jauh berbeda. Kemajuan yang terjadi sekarang pun telah jauh berbeda dengan apa yang ada sewaktu saya masih kecil. Contoh-contoh lain, di masa kecil saya, hanya ada TVRI, sekarang stasiun TV swasta semakin banyak dan jam tayangnya pun sampai 24 jam, dengan berbagai jenis tayangan mulai dari berita, infotainmen (yang dahulu seolah ‘terbekap’ sampai yang sekarang sering kali kebablasan), talkshow, reality show, kuis, sinetron, film kartun, kompetisi bakat, dll – yangmana tayangan-tayangan ini menjanjikan pengetahuan, hiburan, bahkan pembodohan. Dahulu, hanya ada jaringan telepon kabel leased line yang disediakan PT. Telkom. Sekarang, dari anak SD, SMP, SMA, mahasiswa, pegawai biasa, sampai masyarakat kelas sosial atas memiliki HP dengan berbagai jenis teknologi (GSM, CDMA), fasilitas (MMS, kamera, browsing internet, e-mail, PDA, dll), dan berbagai jenis kartu yang disediakan oleh berbagai perusahaan penyedia jasa telekomunikasi. Nah, kira-kira tahun 2020 atau 2030 nanti, kemajuan apa saja yang dicapai bangsa ini ya ........... ?
Suami saya berkata: “Kalau di Amrik sono, wajar sekali jika para manula memilih hidup di panti jompo. Mereka memiliki tabungan masa tua yang bisa membiayai hidup mereka di panti jompo. Di sana mereka seperti tinggal di hotel. Segala keperluan mereka diurusi dan mereka memiliki banyak teman yang sepantaran yang bisa diajak berbagi cerita, dan hidup mereka lebih aman karena mereka diurus oleh orang-orang yang bisa dipercaya”. Ya, anak-anak mereka pasti pada sibuk, memiliki kehidupan sendiri, rutinitas sendiri, dan mereka tidak mau terlalu membebankan kehidupan mereka pada anak-anak mereka.
“Pa, Saya jadi kepingin punya panti jompo yang eksklusif, seperti hotel. Dan kesejahteraan pegawainya tercukupi lahir-batin sehingga mereka tidak perlu lagi berpikir macam-macam untuk mencukupi kebutuhan hidup mereka. Mereka hanya perlu menjalankan tugas mereka dengan tulus dan ikhlas. Kalau perlu kita tinggal di rumah jompo saja nanti ....”, kata saya.
“Boleh juga”, sahut suami saya.
Makassar, 4 Juni 2005

Arogansi itu Terselubung Superioritas

Suatu sore menjelang maghrib, Affiq anak saya yang baru berusia 4 tahun marah pada saya karena saya mematikan komputer tanpa sepengetahuannya saat ia sedang berendam di baskom di tempat cuci pakaian. Memang ia sangat senang bermain komputer. Setiap hari, komputer kami on bisa sampai 10 jam. Ia memainkan apa saja, mulai dari game untuk anak usia balita, sampai mengacak-acak setting komputer seperti tampilan desktop, screen saver, mengubah-ubah user name, windows explorer sampai membuat file-file presentasi dan gambar dengan menggunakan MS Power Point.
Tetapi ia tidak selama 10 jam di depan komputer. Sesekali ia meninggalkan komputer untuk melakukan kegiatan-kegiatan lain seperti berendam di baskom, bermain air di kamar mandi, mengutak-atik perabotan, mengisengi saya, papanya, neneknya, atau kakeknya, atau melakukan eksperimen dan eksplorasi baru terhadap aneka mainan/perabotan rumah, dll.

Seperti yang terjadi pada hari itu, ia sedang asyik berendam, saya pun diam-diam mematikan desknote (komputer portabel) dan melepas kabel power-nya. Usai mandi, ia langsung mengecek komputer, saat melihat komputer mati, ia mencoba menghidupkan kembali tetapi gagal karena tidak mudah memasang kabel tersebut power-nya. Ia lalu mengomel-ngomel dan dengan atraktif pergi ke ruang tamu, manjat di kursi untuk mematikan lampu-lampu yang sudah dinyalakan sebagai tanda protes.

Saya yang sedang sibuk di dapur sesekali pergi mengintip tindak-tanduknya. Karena merasa aman-aman saja, saya kemudian tenggelam dalam kesibukan memasak kolak pisang. Tidak ternyana, Affiq tiba-tiba muncul di dapur dan memperlihatkan kepada saya robekan-robekan kertas yang berasal dari buku yang sedang saya baca. Betapa marahnya saya karena buku itu adalah buku kesayangan teman yang sedang saya pinjam, dan teman saya itu membelinya di luar negeri.

Setengah menyeret, saya membawa Affiq ke ruang TV lalu memarahinya sampai ia meringkuk di lantai, ketakutan. Kedua kakinya saya pukul dengan tangan saya, juga kedua tangannya saling saya pukulkan. Ia makin terisak, sakit hati oleh perlakuan saya. Walaupun marah, saya merasa bersalah juga telah memarahinya sedemikian sampai memukulnya. Tetapi ia harus tahu apa yang dilakukannya salah, dan ia harus tahu saya marah. Sebenarnya salah saya juga karena meletakkan buku yang sedang saya baca itu di atas kursi. Saya ‘seteledor’ itu karena Affiq tidak pernah merobek buku. Di kamar kami, buku-buku berserakan di mana-mana dan tidak ada yang tersimpan di tempat tinggi. Semuanya bisa dijangkau oleh Affiq. Tetapi ia tidak pernah merobeknya. Baru kali ini. Mungkin ini karena kemarahannya pada saya, karena telah mematikan komputer tadi.

Perlahan-lahan suara saya melunak, saya jelaskan mengapa saya marah lalu saya memintanya meminta maaf pada saya, dengan mencium pipi dan tangan saya. Tangisnya mereda tetapi ia tidak mau melakukan apa yang saya pinta. Saya mulai naik darah lagi. Bertepatan dengan itu Papanya pulang, saya ceritakan apa yang terjadi dan kembali memerahi Affiq. Isakannya yang semula mereda, kembali menguat. Saya pun kembali dihampiri rasa sesal. Saya kembali melunakkan suara dan memeluknya. Affiq mulai berhenti menangis tetapi ia melarang saya shalat maghrib. Kali ini saya mulai ‘normal’ kembali. Saya hadapi ia dengan tenang. Saya biarkan ia menangis sementara saya shalat. Setelah itu baru saya memeluknya dan menciuminya. Kali ini Affiq mencium tangan dan pipi saya, kontan rasa haru menyesaki dada saya. Saya katakan bahwa saya akan menelepon teman saya, dan Affiq harus meminta maaf karena telah merobek bukunya. Affiq mengiyakan. Lalu saat saya menelepon teman, ia dengan antusias minta dibolehkan bicara kemudian kata-kata manis ini meluncur dari bibir mungilnya: “Tante, Affiq minta maaf, bukunya robek”.

Malam harinya, saat Affiq sudah tidur. Saya shalat Isya dan kemudian mengisak-tangis, memohon ampun pada Allah karena hari ini telah kurang sabar menghadapi amanah-NYA. Lalu saya menciumi Affiq sambil menangis. Maaf, Nak, Mama mau Affiq tahu bahwa Mama marah karena perbuatan merobek buku itu tidak baik. Tapi Mama tidak tahu bagaimana cara yang tepat untuk mengekspresikannya. Entah cara Mama tadi benar atau tidak. Jujur, Mama merasa cara itu kurang tepat. Tapi Mama akan berusaha lebih baik lagi, lebih sabar lagi. Do’akan Mama ya .....
Tiba-tiba di telinga saya terngiang kembali ‘Undang-Undang’ yang berlaku semasa saya mahasiswi baru yang tengah menjalani Orientasi Mahasiswa Baru di kampus 12 tahun lalu: “Pasal 1, senior tidak pernah bersalah. Pasal 2, jika senior bersalah kembali ke pasal 1”. Oh my God, saya nyaris secara penuh menjalankan ‘undang-undang’ ini dalam bentuk lain: “Pasal 1, orangtua tidak pernah bersalah. Pasal 2, jika orangtua bersalah, kembali ke pasal 1”. Saat menyadarinya, hati saya teriris sendiri, miris.

*******************************
Setelah saya bisa berpikir jernih, saya mulai menyadari bahwa ternyata tipis sekali batas antara rasa superior dan ‘supremasi (kekuasaan tertinggi) yang sah’ sebagai orangtua di dalam rumah tangga. Saat emosi memuncak, superioritas itu sebenarnya menyelubungi arogansi yang sangat besar kemungkinannya ditunggangi setan yang kemudian membenarkan kemarahan itu: “Ayo marah ... kamu kan orangtua, kamu berhak untuk semarah apapun. Kamu bisa memukulnya .... ia-kan anakmu. Tidak ada yang akan menyalahkanmu hanya karena kamu memarahi dan memukulnya karena itu urusan domestikmu”.

Saya tidak tahu sudah berapa banyak luka yang saya torehkan di hatinya. Ia baru berusia 4 tahun, apa yang ia lakukan semuanya masih harus dibimbing dengan sabar. Ia tumbuh dengan kritis dan selalu merefleksikan perbuatan dan perkataan orang-orang di sekitarnya, karenanya bukan semata-mata salahnya kalau ia melakukan hal-hal yang dipandang nakal oleh orang dewasa.

Entah, sudah berapa banyak rasa sesal yang membebani saya karena kekurangkompetenan saya sebagai orangtua. Dengan dalih superioritas dalam bingkai supremasi yang sah sebagai orangtua saya sering menyakiti putra semata wayang saya, padahal saya sendiri yang kurang bijak. Ternyata bukan hanya ia yang harus belajar banyak tetapi saya juga, saya harus terus belajar untuk menjadi bijak ....
Makassar, 10 Maret 2006

Sisi Lain “Nge-Date-in Bonyok

Saat ini, stasiun TV ramai dengan tayangan-tayangan Reality Show. Meskipun tidak menjadikannya tontonan favorit, kadang-kadang saya menjadi salah satu penikmatnya dengan alasan berikut: saya mencoba belajar dari apa saja, siapa saja, dan dari mana saja. Dan mencoba mengamati banyak sisi dari tayangan-tayangan itu. Minimal, buat melatih logika dan rasa.

Di minggu terakhir Februari sampai minggu pertama Maret 2006, secara tidak sengaja saya melihat tayangan “Nge-date-in Bonyok” di Global TV. Ya, saya katakan tidak sengaja karena tayangan itu muncul setelah rentetan film kartun dari Nickelodeon habis ditonton oleh anak saya, sementara saya masih menemaninya nonton. Pertama kali, saya tidak menontonnya sampai selesai, kemudian beberapa hari kemudian ternyata tayangan yang sama dimunculkan kembali pada waktu yang kurang lebih sama.

Saat durasi awal penayangannya, saya mengira peserta acara ini pasti tahu bahwa mereka akan menuai tanggapan pro maupun kontra. Dan sebagai manusia biasa yang mempunyai prinsip-prinsip sendiri, saya pun memiliki tanggapan tersendiri terhadap acara ini. Maksud saya membuat tulisan ini bukannya untuk membahas tanggapan saya mengenai benar-salah atau etis-tidaknya acara ini. Mengenai sikap saya, cukup menggambarkan jika saya mengatakan hal demikian:

Saya adalah ibu rumah tangga berusia hampir 32 tahun, dengan satu anak laki-laki berusia 4,5 tahun. Dan 10 tahun yang lalu, atau jika seandainya saya dikembalikan oleh waktu ke usia awal 20-an, saya tidak akan mengikuti acara seperti ini untuk memilih pasangan karena alasan-alasan pribadi yang sangat prinsipil bagi saya. Ataupun jika umur saya masih sampai di 16 tahun mendatang, saya tidak akan membiarkan anak saya mengikuti acara seperti ini untuk memilih pasangan, dengan alasan-alasan yang juga ‘masih’ prinsipil.

Tapi bukan itu yang akan saya bahas. Saya tidak hendak perang dengan tulisan ini. Setiap orang berhak memiliki tanggapan-tanggapan tersendiri, entah itu pro ataupun kontra. Saya hanya hendak menguak sisi lain yang saya lihat di balik tayangan ini. Selamat membaca.

Baiklah, bagi yang belum pernah tahu bentuk Reality Show ini, saya berikan sedikit gamabaran. Acara ini mengulas tentang pemuda/pemudi yang sedang mencari kekasih dari 3 kandidat pemudi/pemuda yang ‘tersedia’. Untuk itu ia harus mengencani ibu/ayah (NYOkap/BOkap, kalau dibalik dibaca: BONYOK) para kandidat terlebih dahulu di mana pun itu (bisa di tempat makan, tempat olah raga atau di tempat-tempat hiburan lain). Nah, dari perbincangan dengan para BONYOK ini, sang pemuda/pemudi yang sedang mencari kekasih ini harus menggali tipe/karakter para kandidat dan kemudian memilih salah satu di antara mereka untuk kemudian dikencani atau kalau suka kemudian dipacari. Para BONYOK pun pasti mempromosikan pemudi/pemuda mereka agar ‘layak’ dipilih oleh sang pemuda/pemudi.

Episode yang saya tonton mengulas Galih (20 tahun) dan para kandidat: Dian (20 tahun), Ines (20 tahun), dan Sahira (17 tahun) dengan para ibu mereka. Galih harus mengajak para ibu gadis-gadis manis ini ke suatu tempat untuk mencari tahu siapa yang paling cocok untuk dikencaninya kelak. Oleh Galih, ibu Dian diajak ke tempat bermain golf, ibu Ines diajak ke restoran Dim Sum, dan ibu Sahira diajak ke tempat bermain go kart dan biliar. Galih tidak terkesan dengan ibu Dian karena orangnya agak pendiam sehingga lebih banyak Galih yang memancing pembicaraan dan ia memutuskan tidak memilih Dian karena menurutnya ibu Dian ‘terlalu’ protektif (karena hanya membolehkan Dian keluar sampai jam 7 malam, dan tidak membolehkan Dian larut dalam DUGEM – Dunia GEMerlap – dunia malamnya Jakarta). Galih kelihatan agak terkesan dengan ibu Ines karena orangnya lebih suka berbicara. Kelihatannya Galih suka dengan makanan kesukaan Ines (siomay dan bakpao) tetapi ia tidak memilih Ines karena ia tidak menyukai parfum favorit Ines. Galih memilih Sahira yang masih sangat belia karena ia paling terkesan dengan ibu Sahira yang menurutnya serba bisa, dan karena Sahira dinilainya mandiri (karena bisa menyetir mobil sendiri) dan tidak tergantung pada orangtua.
Oya, ada juga alasan Galih tidak memilih salah satu dari keduanya karena satu kebiasaan. Saya lupa ini kebiasaan Dian atau Ines, yaitu masih suka tidur dengan ibunya meskipun sudah semester 4 di perguruan tinggi (hal ini dinilainya kurang mandiri).

Oke, dengan sudut pandangnya Galih berhak memiliki argumen-argumen tersebut. Tetapi dari kaca mata saya, saya memiliki pendapat lain. Bagi orang yang hendak memilih pasangan hidup (baca: istri) seharusnya bersyukur, di zaman yang makin bebas sekarang ini apalagi di kota metropolitan Jakarta, masih ada gadis yang berusaha dijaga kehormatannya semaksimal mungkin oleh orangtuanya. Dan jika hal ini dipatuhi dengan penuh kesadaran oleh sang gadis, itu berarti ia pandai menjaga dan membentengi dirinya. Sehingga tidak ada kemungkinan bagi calon suaminya untuk mendapatkan calon istri yang free/ugal-ugalan, pembangkang, bahkan ‘bekas’. Dan untuk seterusnya ia akan jadi istri yang tahu menjaga kehormatan dirinya dan suaminya dan kemudia akan mendidik anak-anak yang tahu menjaga diri mereka pula.

Masih dari kaca mata saya, gadis berusia 20 tahun yang masih suka tidur dengan ibunya pastilah memiliki hubungan batin yang sangat akrab dengan ibunya. Gadis seperti ini pasti tidak akan membiarkan ibunya kecewa sehingga ia akan semaksimal mungkin menjaga dirinya dari pengaruh-pengaruh buruk dan akan selalu berusaha mencetak prestasi dalam bidang-bidang positif demi membuat ibunya bangga padanya. Satu lagi, ia pasti menurunkan sifat-sifat kodrati keibuan yang mulia dari ibunya karena ia akan berusaha – paling kurang – sama dengan ibunya dan akan merefleksikan sifat-sifat mulia itu ke orang-orang terdekatnya. Dan coba tebak, kelak jika ia menikah, siapa yang paling akan merasakan refleksi keibuannya itu ? Tepat, suaminya ! Jadi, mandiri atau tidaknya seseorang tidak hanya bisa diukur dari satu parameter saja bahkan hal yang dinilai tidak mandiri bisa saja mengandung nilai lain yang jauh lebih mulia.

Dari kedua hal ini, saya mencoba mengatakan bahwa salah satu hal yang membentuk karakter seseorang adalah genetika dan pengaruh/pendidikan dari orangtuanya, terutama ibunya. Karena ibu adalah guru pertama sekaligus utama, dan figur yang utama bagi seorang gadis. Berikutnya di jenjang pernikahan, karakter suami-istri sangat berpengaruh dalam mengatasi kerasnya ombak dan angin di tengah lajunya bahtera rumah tangga mereka.

Meskipun ibu sangat berpengaruh dalam pembentukan karakter seorang anak, di usia remaja dan dewasa masih banyak hal lain yang membentuk karakter seorang perempuan (dan juga laki-laki) dewasa. Yaitu lingkungan dan proses pembelajaran seseorang menuju kedewasaan. Dan hal ini memegang peranan yang sangat besar karena di saat kedua hal ini berpengaruh, seseorang tidak lagi terlalu tergantung pada orangtuanya karena sedang mencari jati diri sendiri. Dan setiap manusia memiliki ‘kehendak bebas’ hendak menjadi apa, melakukan apa, dan hendak ‘ke mana’. Saya berani mengatakan ini karena saya pun mengalaminya. Di saat saya mulai menerapkan mencoba belajar dari apa saja, siapa saja, dan dari mana saja di usia SMU hingga usia 20-an (apalagi saat ini), orangtua saya tidak pernah tahu buku apa saja yang sudah saya lalap, pelatihan apa saja yang sudah saya ikuti, tayangan apa saja yang sudah saya tonton, diskusi apa saja yang sudah saya lalui, dan pembelajaran serta hikmah apa saja yang sudah saya peroleh dari semua itu. Maksud saya, tidak selamanya karakter seseorang tergambar dari ibunya atau bisa dilukiskan oleh ibunya. Kalau boleh saya ibaratkan, hal itu seperti melihat sekeping potongan puzzle dari sebuah gambar utuh!

Buat Galih, saya minta maaf jika ada kata-kata saya yang tidak berkenan di hati. Mohon dianggap tulisan saya ini sebagai sharing sudut pandang saya sebagai seorang ibu muda (yang pernah melewati usia kepala 2) yang sudah hampir 7 tahun berumahtangga. Meski usia rumah tangga saya masih seumur jagung, tetapi ternyata saya sudah menyimak hal-hal yang kali ini saya coba bagi dengan Galih (dan mungkin belum Galih ‘lihat’). Saya yakin masih banyak hal lagi yang perlu saya simak dalam kehidupan berumah tangga saya ke depan, dan karenanya saya mencoba belajar dari apa saja, siapa saja, dan dari mana saja.

Terakhir, ada satu hal yang membuat saya sangat terkesan yaitu hubungan yang sangat akrab di antara ibu dan anak. Saya berani jamin, yang mengikuti “Nge-Date-in Bonyok” ini pastilah ibu/ayah – anak yang memiliki hubungan emosional/batin yang sangat akrab. Kekompakan mereka mengikuti acara ini pasti karena kesamaan pandangan mereka tentang acara ini dan karena sehari-harinya mereka merupakan team work yang jempolan. Salut! Pasti banyak anak yang iri melihat mereka. Bukannya iri karena ingin tampil lalu dipilih pemuda keren, tetapi iri karena hubungannya dengan orangtuanya tidak seakrab para peserta itu.

Sekali lagi, jika umur saya sampai di 16 tahun mendatang, saya tidak akan membiarkan putra saya mengikuti tayangan serupa itu dan memilih pasangannya dengan cara seperti itu. Tetapi saya akan berusaha memiliki hubungan yang sangat akrab dengan anak saya, seakrab hubungan ibu-ibu di tayangan itu dengan anak-anak mereka. Dan saya akan berusaha agar anak saya memiliki karakter unggul dari pengaruh/pendidikan yang saya (sudah dan akan) berikan kepadanya ….
Insya Allah.

Makassar, 2 Maret 2006

Suami-Istri dan Pakaian Mereka

Seperti ibu-ibu lainnya, ada kalanya saya senang juga nonton acara infotainmen di TV. Saya senang mengamati tingkah laku para selebriti, alasan mereka melakukannya (kalau ada dibahas, kalau tidak ya menduga-duga), dan mencoba memilah-milah mana yang realitas dan mana yang hanya rekaan wartawan-wartawan infotainmen belaka.
Jika ada berita bersambung yang dibahas di berbagai infotainmen di berbagai stasiun TV dan ditayangkan selama berhari-hari, biasanya itu menyangkut masalah rumah tangga selebriti yang bersangkutan, di antaranya adalah berita peceraian.
Sudah acap terdengar di ceramah-ceramah agama mengenai hubungan suami istri, bahwa suami adalah pakaian istri dan sebaliknya pula, istri adalah pakaian suami. Oleh karenanya baik suami maupun istri harus hati-hati dalam mengekspos hubungannya dengan pasangannya ke pihak lain karena jika salah bisa membuatnya menelanjangi dirinya sendiri.
Hal ini terlihat nyata pada tayangan infotainmen yang memuat perseteruan antara suami-istri atau mantan suami-istri. Misalnya saja Dewi Hughes,Tamara Blezsinski, dan yang terakhir ini Cut Memey dan Dea Mirella yang sewaktu masih rukun terlihat sebagai pasangan yang harmonis dengan suaminya (kecuali Cut Memey yang tidak ketahuan kalau sudah bersuami), namun begitu berseteru apalagi sampai berpolemik di infotainmen … Anda-Anda yang sempat mengikuti beritanya pasti bisa membayangkan borok apa yang ada di diri para pasangan ini (tidak perlu kiranya saya yang membeberkan borok-borok itu). Polemik yang terjadi sungguh membuat saya bergidik … naudzubillah … semoga Allah menghindarkan saya dari hal-hal semacam itu. Padahal hubungan mereka bukanlah hubungan atas perjodohan yang dipaksakan orangtua mereka. Hubungan mereka murni karena ketertarikan antar-mereka hanya sayangnya mereka tidak berhasil menjaga kelanjutan hubungan itu.
Salah satu fungsi pakaian adalah menutupi yang tidak wajar kelihatan (termasuk aurat) serta menambah keindahan pemakainya – baca QS. 7:26 (halaman 279, ‘Lentera Hati’, oleh DR. M. Quraish Shihab). Kalimat ini benar adanya jika dihubungkan dengan konteks hubungan suami-istri. Betapa tidak, istri yang membongkar aib suaminya di depan orang lain (entah karena tujuan apa) – apalagi di infotainmen, seperti membuka pakaiannya sendiri di depan orang lain karena setelah itu sang suami akan membalasnya dengan tindakan serupa. Masyarakat (yang sebenarnya tidak perlu tahu masalah mereka) yang menonton tayangan infotainmen, pada akhirnya pasti akan menilai mereka dari borok-borok yang ‘tampak’ di infotainmen.
Sayangnya para wartawan infotainmen ini tidak bisa diharapkan untuk tidak membuka aib para pasangan selebriti itu karena dari ironi inilah mereka berpenghasilan. Yang bisa diharapkan hanyalah agar para selebriti itu lebih menjaga diri mereka berikut ‘pakaian’ mereka, dan para penikmat infotainmen supaya lebih cerdas menyikapi permasalahan yang disuguhkan oleh tayangan yang mereka tonton sehingga tidak terjebak dalam kegiatan gosip-bergosip yang tidak jelas juntrungannya.
Sebenarnya ada hal menarik lain yang juga bisa ditarik dari polemik antar-pasangan di infotainmen dan bisa dijadikan bahan pelajaran bagi diri kita sendiri, yaitu dengan menyimak hubungan sebab-akibat dari aksi-reaksi mereka. Karena hal tersebut adalah bentuk kewajaran manusia dalam bersikap yang patut kita simpan sebagai bahan pelajaran. Bukan mustahil jika suatu saat masalah yang serupa tapi tak sama, atau bahkan persis serupa juga menimpa hubungan antara diri kita dan pasangan dan dengan bekal ilmu yang tepat (termasuk contoh-contoh kasus di infotainmen), masalah itu bisa disikapi dengan bijak, tidak perlu sampai membuat kita saling menelanjangi di depan orang-orang yang tidak pantas melihat kita telanjang. Karena pada dasarnya para lelaki memiliki persamaan karakter yang khas (diistilahkan dengan kaum ‘Mars’) dan demikian pula para perempuan juga memiliki persamaan karakter yang khas (diistilahkan dengan kaum ‘Venus’). Dan sering kali, kesalahpahaman dalam hubungan keduanya disebabkan oleh ketidakmengertian akan kekhasan karakter dari pasangan (atau lawan ?)-nya. ‘Ilmu’ yang mempelajari kekhasan masing-masing ini, di antaranya bisa diperoleh dengan cara mengamati contoh-contoh kasus di sekitar kita, mungkin dari pengalaman orangtua, keluarga atau teman-teman kita, dan juga dari infotainmen.
Makassar, 13 Maret 2006

Kilas Balik: FENOMENA AFI, Antara Kemilau dan Rasa Miris

Seperti kebanyakan masyarakat Indonesia, saya pun tertarik dengan salah satu program tayangan di Indosiar: Akademi Fantasi Indosiar (AFI). Tulisan ini sebenarnya mulai saya susun pada akhir tahun 2004 dan baru saya rampungkan di penghujung 2005 ini. Walaupun usia tulisan ini sudah setahun, mudah-mudahan masih ada hal positif yang bisa kita simak bersama melaluinya.
Terus terang, saya salut dengan Indosiar yang mampu membuat tayangan yang sedemikian besar menyedot perhatian masyarakat bangsa ini. Tetapi ironisnya, di samping kesalutan saya, saya agak miris dengan dampak lain yang ditimbulkannya. Dan kini, ketertarikan saya bukan hanya sebatas menonton tayangan atau mengomentari sendiri segala polah yang tampak di layar bening di rumah. Kini, saya tertarik mengomentarinya melalui tulisan ini. Dan mudah-mudahan mendapat respon yang juga menarik dari pihak media massa (cetak dan elektronik) juga dari para pembacanya.

Yang Menarik Dari AFI

Hal-hal menarik, menurut saya, yang perlu digarisbawahi dari program ini adalah sebagai berikut;
1. Peluang bagi masyarakat di luar pulau Jawa.
Kesempatan untuk menjadi bintang dalam dunia entertainment di tanah air tercinta ini, kini sedikit lebih mudah bagi kalangan muda usia (18 – 25 tahun) di seluruh pelosok Indonesia. Para kompetitor datang bukan hanya dari pulau Jawa, melainkan juga dari pulau-pulau lainnya di luar Jawa. Dampak sentralisasi selama puluhan tahun yang juga mengimbas pada kesempatan untuk menjadi entertainer populer di negeri ini, kini agak mengecil dengan adanya kesempatan pendaftaran di berbagai kota di Indonesia. Untuk poin ini, Indosiar bukan satu-satunya stasiun TV yang membuka kesempatan ini, TV-TV swasta lain juga ‘berkompetisi’ dalam hal ini.
2. Alternatif berkarir.
Program AFI dan program-program lain serupa ini yang makin marak saat ini menjadi alternatif bagi solusi masa depan pemuda-pemudi Indonesia. Persoalan: mahalnya biaya sekolah apalagi perguruan tinggi, dan makin banyaknya pengangguran karena makin sulitnya lahan kerja (salah satu alasannya karena masih adanya ‘KKN ‘ dalam penerimaan pegawai), terjawab dengan adanya peluang seperti ini. Peluang yang walau gratis tetapi menjanjikan masa depan yang cerah. Apapun jalur yang dipilih orang untuk berkarir, ‘toh ujung-ujungnya duit juga ....................
3. Kompetisi dengan semangat sportif.
Semangat berkompetisi dengan sportif ditanamkan dalam diri para akademia. Ribuan pelamar di tiap kota diseleksi menjadi 50 besar, kemudian 20 besar lalu tersaringlah 3 besar calon akademia mewakili tiap-tiap kota. ‘Tiga Besar’ yang seharusnya mempunyai kualitas paling bagus di antara ribuan orang itu diberi kesempatan lagi untuk tampil di panggung Teater Tanah Air di Taman Mini Indonesia Indah di Jakarta. Dari keseluruhan peserta yang tampil dalam konser Pre Eliminasi, terpilihlah 12 orang yang akan menambah deretan nama beken selebritis Indonesia. Tetapi tidak sampai di situ saja, 12 akademia ini harus berkompetisi lagi tiap minggunya, dikomentari oleh para artis senior, kemudian tereliminasi satu demi satu hingga tinggal 3 besar terbaik. Fffuih .... bukankah ini perjuangan yang melelahkan ?
Satu hal yang menjadi perhatian saya yaitu bahwa ternyata kualitas para alumnus AFI 1 s/d AFI3, bukanlah yang terbaik. Jika mereka adalah orang-orang yang terbaik seharusnya semakin lama mereka ditempa di asrama AFI, semakin sedikit kesalahan yang mereka buat saat konser mingguan, menandakan bahwa mereka betul-betul belajar di ‘akademi’. Tetapi ternyata tidak. Untunglah AFI 2005 memperbaiki hal ini, mereka yang tersaring hingga 12 besar benar-benar mereka yang berkualitas bagus, mereka yang bisa membuktikan diri sebagai ‘pembelajar’ dalam dunia entertainment. Salut buat seluruh pendukung AFI 2005 !
4. Bentuk pelatihan yang diformat sedemikian rupa sehingga mencakup semua lini guna membentuk pribadi entertainer yang berkualitas .
Dalam perjuangan 12 akademia ini, mereka harus menempati asrama di kawasan pemukiman elit Raffles Hills. Di situ mereka digembleng dengan pengetahuan olah vokal, gerak, mimik, komunikasi, penguasaan panggung, teknik miking, psikologi, etiket, dan olah mental. Pengetahuan olah vokal, gerak, mimik, dan penguasaan panggung diberikan oleh para seniman andal Indonesia dalam bidang seni tarik suara, seni tari, dan seni peran. Pengetahuan tentang etiket dalam pergaulan, pengetahuan komunikasi (untuk mempersiapkan para akademia menjadi komunikator andal dalam dunia entertainment) dan teknik miking juga diberikan oleh para ahli di bidang-bidang tersebut. Mental mereka digembleng untuk menjadi tangguh di asrama, di mana hubungan mereka dengan dunia luar diputus. Tidak ada media apapun yang diizinkan beroperasi untuk menghubungkan mereka dengan sahabat bahkan orangtua. Oleh karena itu mereka didampingi oleh psikolog yang memberikan pengetahuan psikologi serta masukan-masukan psikologis dan figur ‘ayah’ yang di samping memberikan ilmu dunia entertainment juga senantiasa mengingatkan mereka untuk selalu beribadah dalam agama mereka masing-masing. Bahkan para pengajar AFI dapat menjadi the right persons in the right situations – mereka berusaha dekat secara pribadi dengan para akademia dan turut menjadi problem solver atau mediator dalam konflik yang terjadi di antara para akademia. Saya menggarisbawahi, AFI tidak hanya berusaha mendidik mereka menjadi entertainer yang piawai dalam bernyayi, menari, dan berkomunikasi tetapi juga memiliki EQ (Emotional Quotient = kecerdasan emosional à Daniel Goleman) dan SQ (Spiritual Quotient= kecerdasan spiritual à Danah Zohar & Ian Marshall) yang berkualitas.
5. Untuk menjadi entertainer andal, diperlukan tingkat kecerdasan tertentu.
Hal di atas membuat saya ngeh bahwa sesungguhnya, untuk menjadi entertainer kondang tidaklah semudah membalik telapak tangan. Berbagai macam kecerdasan manusia harus ‘bekerjasama’ untuk menjadikan seseorang andal dalam teknik olah gerak/suara dan moral. Kecerdasan yang saya maksud ialah, apa yang disebut oleh Howard Gardner (pencetus istilah Multiple Intelligences) dengan: kecerdasan musikal, kecerdasan verbal linguistik, kecerdasan gerak-kinestetik, kecerdasan personal, dan kecerdasan inter-personal (kecerdasan personal+kecerdasan inter-personal=kecerdasan emosional). Tidak hanya itu, entertainer andal seharusnya memiliki hubungan transendental yang bagus dengan penciptanya agar apa yang dilakukannya tidak keluar dari rel yang bernama agama à kecerdasan spiritual. Harus diakui, semua ini membutuhkan tingkat kecerdasan tertentu yang diatur dalam kedua belah otak manusia (belahan otak kanan dan kiri). Orang-orang yang berniat menjadi bintang layak belajar melalui tayangan AFI. Para selebriti yang sudah terlebih dahulu menjadi bintang pun perlu belajar kembali untuk introspeksi diri.
6. Latihan introspeksi diri melalui kritik dan pujian orang lain
Tidak hanya bagi para akademia, komentar-komentar yang dilayangkan oleh para komentator selepas mereka membawakan sebuah lagu, secara tidak langsung bisa membuat masyarakat Indonesia yang sebenarnya tidak terbiasa dikritik secara langsung – pelan-pelan belajar berbesar hati menerima kritikan pedas sekalipun sebagai bahan introspeksi diri. Kritikan dan pujian yang ditayangkan secara langsung dalam program ini mendidik para akademia dan penonton untuk fair, berhati lapang, dan rendah hati – bahwa untuk mengasah potensi diri juga harus berefleksi dari kritik orang lain. Juga bahwa pujian tidak boleh membuat lupa diri - pujian adalah tolok ukur yang harus dijaga, minimal konstan, malah lebih bagus lagi kalau bisa ditingkatkan.
7. Latihan berkomunikasi secara santun dan etis
Para komentator saat konser pun dituntut untuk berkomunikasi secara etis dan santun. Ada satu kali kejadian, seorang komentator memberikan komentar pedas, bahkan cenderung kasar karena menyerang pribadi akademia yang bersangkutan, bukannya mengkritik kemampuan yang mereka tampilkan di atas panggung. Umpan balik dari komentarnya bukan hanya datang dari akademia tetapi juga dari pemirsa/penonton yang menyaksikan. Dan satu penilaian buruk pasti sudah mampir untuk sang komentator kasar itu. Pernah pula seorang pengajar memberikan kritik yang kurang tepat, tidak sesuai dengan apa yang telah ditampilkan oleh seorang akademia, entah karena ia lupa atau kurang menyimak penampilan akademia yang dimaksud. Maka, umpan balik pun datang via web site AFI yang disampaikan oleh penggemar akademia itu.
8. Paket marketing yang hebat.
Saya mengacungkan semua jempol saya untuk tim kerja AFI. Paket marketing mereka sungguh jempolan. AFI tidak hanya menarik perhatian dari tayangan konser, Diary AFI, Up & Close Personal tetap juga dari polling sms pemirsa dan hadiah yang dijanjikan, kontrak eksklusif bagi alumni AFI, web site di internet, konser di Studio Cafe, konser di berbagai kota di seantero nusantara, kaset, VCD, sinetron, tayangan kilas sinetron, undian dengan salah satu sponsor setelah tayangan AFI 3 usai, memunculkan ‘alumni’ AFI di banyak tayangan Indosiar lainnya sebagai presenter ataupun sebagai pengisi acara di acara-acara musik, dan yang terakhir: AFI Junior, film layar lebar, dan pictorial book AFI 1. Mudah-mudahan hal ini merupakan bentuk simbiosis mutualisme, kerjasama yang saling menguntungkan atau win-win antara pihak Indosiar dan para artis AFI .
9. Diary AFI, membuat pemirsa dekat dengan akademia andalannya.
Salah satu bentuk marketing yang jempolan. Tayangan ini membuat pemirsa TV merasa dekat dengan akademia andalannya. Melalui tayangan ini, pemirsa dapat mengenal kepribadian para akademia dari layar kaca. Dan juga mengetahui bahwa ilmu yang patut dimiliki oleh entertainer andal ternyata cukup banyak (no. 3 dan 4 di atas). Profesi entertainer yang masih dipandang remeh oleh sebagian orang ternyata memerlukan pelatihan yang tidak remeh. Selain itu, Diary AFI juga menjadi infotainmen gosip yang selalu memanfaatkan bermacam aksi-reaksi antara akademia laki-laki dan perempuan yang seringkali dikomentari (dengan teks atau narasi) secara seenaknya tanpa klarifikasi dari yang bersangkutan. Yah maklum saja, masyarakat Indonesia masih menyenangi tayangan seperti itu ..........................
10. AFI Junior
Saya sempat miris saat AFI pertama kali ditayangkan. Kala itu, tayangan lagu-lagu anak-anak sungguh minim di semua channel TV swasta, para artis penyanyi cilik seakan raib ditelan bumi. Histeria massa pada para akademia tidak hanya terjadi pada para ABG (anak baru gede) negeri ini tetapi juga pada anak-anak usia SMP, SD, bahkan anak usia pra sekolah. Sayang sekali jika mereka ikut hanyut menikmati tema lagu-lagu orang dewasa yang belum mereka mengerti ataupun ikut larut menggemari salah satu akademia tanpa alasan yang jelas. AFI Junior seakan menjawab kegetiran saya. Belakangan malah bermunculan berbagai tayangan serupa yang mengobarkan semangat kompetisi berseni suara pada anak-anak belia cilik di negeri ini. Kelatahan yang punya nilai positif. Setidaknya penyanyi cilik yang bermunculan saat ini adalah yang betul-betul punya talenta dan kemampuan yang berkualitas.
11. Pelukan dan ciuman.
Hal yang membuat saya terperangah adalah adegan spontanitas: pelukan dan ciuman pada akhir konser, setelah pengumuman eliminasi dibacakan oleh Adi Nugroho. Adegan itu bahkan terjadi saat konser pra eliminasi, di mana mereka baru berkenalan selama seminggu. Reaksi sedih akan berpisah (walau cuma sesaat) dengan sahabat adalah wajar, tetapi apakah itu perlu diekspresikan dengan pelukan erat dan ciuman? Tanda tanya besar di benak saya mewakili rentetetan tanda tanya dalam tulisan ini: apakah memang seperti ini pola gaul anak muda sekarang? Tidak risih bersentuhan dada dan saling merapatkan badan di depan kamera dan di depan mata jutaan orang ? Apakah itu kebiasaan mereka sejak sebelum bergabung di AFI ? Ck .... ck ..... ck .... ck ..... Apakah ini suatu kemajuan atau kemunduran? Ataukah pergeseran budaya biasa yang tidak berarti apa-apa ? 10 tahun lalu hal ini masih risih dilakukan kawula muda negeri ini, sekarang hal ini sudah kelihatan lazim. Lalu 15 tahun mendatang saat anak saya yang sekarang masih balita beranjak dewasa hal apa (yang sekarang masih mengundang rasa risih untuk dilakukan) yang akan menjadi lazim kelak? Di samping semua tanya itu, saya salut dengan salah seorang calon akademia perempuan – Tenri Ukke dari kota Makassar (dia gugur di konser pre eliminasi) yang tidak ikut-ikutan memeluk dan mencium teman-teman prianya saat perpisahan di akhir konser, dia hanya menggenggam sambil mengepalkan dengan erat tangan setiap calon akademia laki-laki yang hendak memberikan salam perpisahan kepadanya. Hal yang lucu terjadi dalam salah satu konser AFI 1 (diselenggarakan di salah satu kota di pulau Jawa) yang menampilkan ‘lomba mirip bintang AFI 1’. Para peserta lomba diminta untuk menirukan bintang yang ‘diakuinya’ mirip dengannya. Mereka melakukannya. Hal lucu yang terjadi adalah setelah ‘eliminasi’ diumumkan, mereka juga akting adegan pelukan dan ciuman!
12. Pakaian konser dari sponsor.
Banyak produsen yang bersedia mensponsori tayangan AFI. Salah satu yang disponsori adalah pakaian para akademia saat konser. Sayang sekali, mereka tidak pernah ditanyakan apakah mereka suka atau nyaman dengan pakaian yang mereka kenakan. Salah seorang alumnus AFI pernah mengeluarkan statemen di salah satu infotainmen bahwa ia tidak nyaman dengan pakaian yang terbuka dan terlalu pendek. Tapi apa boleh buat, kontrak eksklusif membuatnya harus rela berpakaian apa saja yang diberikan padanya untuk konser hingga hak mereka untuk merasa nyaman dalam berpakaian mau tidak mau harus dipinggirkan. Saya seringkali miris melihat penampilan akademia perempuan di TV, beberapa dari mereka seringkali harus mengenakan pakaian yang berpotongan leher amat rendah. Saking rendahnya sampai-sampai ... maaf ... belahan dadanya kelihatan. Saya tidak tahu apakah mereka merasa nyaman dengan pakaian itu, atau mungkin mereka terbiasa dengan pakaian seperti itu. Saya tidak tahu apakah banyak penonton (utamanya laki-laki) yang senang melihat perempuan berpakaian dengan model pakaian yang memperlihatkan belahan dada atau mempertontonkan kemulusan paha dan keindahan lekuk tubuh, ataukah banyak juga yang seperti saya, merasa risih dan kasihan melihat tayangan seperti itu?
Syukurlah, di AFI 2005 yang barusan, gaya berpakaian ‘kemben’ seperti di AFI 1 (kemben = keterbatasan sponsor ?) tidak terlihat lagi. Style pakaian saat konser sudah terlihat lebih rapih dan lebih bisa ditolerir oleh tata nilai saya dibandingkan AFI 1 (yang saya yakini masih banyak yang memiliki tata nilai serupa dengan saya).
13. Tayangan shalat di Diary AFI 2
Saat menjelang konser grand final, Diary AFI 2 pernah menayangkan adegan shalat (tidak jelas shalat apa) yang dilakukan oleh 3 orang akademia terbaiknya. Adegan itu menayangkan sepotong adegan shalat dan di penghujung shalat mereka berdo’a dengan (sengaja) bersuara. Adegan ini muncul – entah secara kebetulan atau tidak, setelah ada media yang memuat kritikan ulama tentang akademi fantasi yang tidak mengajarkan moral agamis ini. Mengada-ada. Saya katakan mengada-ada karena shalat seperti yang kita ketahui seharusnya adalah ritual wajib setiap muslim/muslimah yang sifatnya pribadi antara seorang hamba dengan penciptanya. Ibadah wajib yang dilakukan sebanyak 5 kali dalam sehari dan tidak perlu diekspos sedemikian, entah untuk apa. Yang paling mengada-ada ialah do’a berbahasa Indonesia yang mereka ‘panjatkan’ seolah dikte yang diberikan seseorang untuk mereka sampaikan kepada Sang Khalik. Kalau bukan dikte, untuk apa do’a yang mereka panjatkan dibaca dari secarik kertas? Do’a pun sifatnya pribadi, tidak perlu dibaca dari secarik kertas apalagi do’a yang dibaca tersebut dibuat dalam bahasa Indonesia, bahasa sehari-hari masyarakat Indonesia dan tidak dengan suara yang dikeraskan sehingga diketahui oleh ribuan orang. Tuhan sangat mengerti keinginan setiap hamba yang bermohon pada-Nya, dalam bahasa apa saja asal dipanjatkan dengan cara yang benar, tidak perlu berlebihan. Sayang sekali, ibadah yang sesungguhnya mulia tersebut ditayangkan dalam bentuk yang tidak simpatik.
14. Artis karbitan ?
Saya sangat tidak setuju kalau ajang seperti ini dikatakan membentuk artis karbitan. Perbedaan artis yang dihasilkan dengan cara ini dibandingkan yang telah lebih dahulu ‘berkibar’ adalah dari banyaknya jam terbang dalam skala nasional yang mereka miliki, itu saja. Sebenarnya banyak juga dari mereka yang memiliki jam terbang lokal cukup tinggi yang telah mereka rintis selama bertahun-tahun. Mereka tinggal menunggu peluang untuk ikut berkompetisi dalam skala nasional dengan para senior mereka dalam dunia entertainment. Faktanya, setelah mereka keluar dari ajang semacam ini, mereka akan terus ‘berlatih terbang’ dalam kontrak eksklusif mereka. Setelah itu, mereka pasti akan kena seleksi alam. Di mana artis yang tidak mampu survive akan hilang dengan sendirinya. Dan yang memiliki kesadaran diri untuk terus mengasah potensinya (termasuk akhlak) akan terus berkibar sampai penikmat musik bosan dengannya atau menyematkan titel legenda pada namanya.
15. Liburan ke Bali
Sangatlah pantas jikalau seluruh akademia mendapatkan banyak hadiah dari pihak penyelenggara dan sponsor, termasuk hadiah liburan ke pulau dewata. Saya ingin mengingatkan pada penyelenggara dan para akademia sesama muslim agar berhati-hati dalam hal upacara yang kemungkinan menyangkut ibadah agama selain Islam. Mohon maaf, dengan segala kerendahan hati, saya sangat tidak bermaksud merendahkan agama lain. Sebagai seorang muslim yang wajib saling mengingatkan kepada sesama muslim lainnya, saya ingin berpesan bahwa Islam yang sangat menjunjung tinggi kebebasan agama lain menjalankan ibadahnya - sangatlah strict dengan hal-hal yang berhubungan dengan aqidah tauhid. Dalam Islam sangatlah tidak dibenarkan mengikuti upacara yang berkaitan dengan ibadah agama lain.
Saya sempat mengikuti sekilas tayangan liburan ke Bali para akademia AFI 3, suatu ekspos pariwisata yang menarik, saya jadi lebih banyak tahu tentang Bali. Hanya satu hal yang membuat saya agak miris, yaitu tayangan acara disko para akademia AFI 2 yang kala itu disajikan dengan sangat tidak indah. Terus terang, saya tidak mengerti poin apa yang bisa saya tarik dari tayangan sekian menit yang memuat gerakan dansa-dansi anak muda yang katanya modern itu dengan latar musik hingar-bingar dan kerlap-kerlip lampu diskontinyu, tanpa teks, tanpa kata-kata. Tanpa ada nilai yang patut dibagi pada jutaan mata rakyat yang hidupnya masih susah karena minimnya lapangan pekerjaan, maraknya KKN di berbagai sektor kehidupan mulai dari kelas bawah sampai kelas atas, semakin sulitnya pendidikan yang layak, penghidupan yang minim karena gaji di bawah UMR dan berbagai alasan lainnya. Tolong, tidak ada salahnya ‘kan menjaga perasaan mereka yang sedang dalam kondisi tersebut ?
16. Character assasination
Salah satu kekurangan dari tayangan yang mengandung unsur infotainment seperti Diary AFI adalah, dilupakannya aturan yang sebenarnya masih lazim di negara ini karena masih diajarkan oleh berbagai agama untuk menuntun perilaku para pemeluknya. Yaitu: membuka dan menyiarkan aib orang lain. Salah satu tayangan Diary AFI 2 pernah menampilkan suatu bentuk reality drama, di mana Haikal dihadapkan pada situasi semacam sidang di mana saat itu ada 3 akademia lainnya yang tersisa (yang selebihnya telah tereliminasi) dan 2 orang pengajar AFI. Di situ segala kejelekan dari karakter seorang Haikal diungkap oleh ketiga akademia dan disimak serta dibantu penyelesaian konflik yang timbul karenanya oleh kedua pengajar. Maksud kejadian itu sebenarnya baik yaitu mencoba membuat sesosok pribadi berusaha untuk mengintrospeksi dirinya dan menyelesaikan konflik yang timbul di antara Haikal dengan akademia-akademia lainnya. Namun di sisi lain, penayangan kejadian tersebut secara tidak sadar dapat menyebabkan character assasination (pembunuhan karakter) seorang Haikal karena itu ditayangkan dalam skala nasional. Dalam satu bentuk acara hiburan lagi. Khawatirnya, karena acara semacam ini semakin banyak, publik akan merasa bahwa membongkar aib orang dan menyiarkannya kepada khalayak adalah lazim karena TV, mau tidak mau saat ini telah menjadi pembentuk opini publik. Apakah ini bentuk kebebasan pers yang kebablasan ?
17. Kualitas penyanyi yang makin bagus
Kualitas luaran AFI angkatan ke-4 (AFI 2005) menunjukkan keseriusan dari tim pencari bakat di balik layar untuk mencari bibit-bibit yang benar-benar berkualitas. Salut pada luaran AFI 2005 yang rata-rata kualitas nyanyi mereka di atas dari angkatan-angkatan sebelumnya. Mudah-mudahan peningkatan ini tetap terjaga di tahun-tahun mendatang.

Kembali ke nilai-nilai etis, berikut ini saya kutipkan satu pesan yang juga merupakan harapan pribadi saya dari sebuah khutbah idul fitri 1425 H yang lalu :
“ … dalam pergaulan misalnya, mereka (generasi muda saat ini – pen) berusaha menonjolkan cara pergaulan yang berasal dari barat. Mereka memandang budaya barat adalah budaya yang terbaik dan harus selalu ditiru. Mereka tidak mampu memilih mana budaya yang perlu ditiru dan mana yang harus ditolak.
Kalau mereka bertemu, yang mereka ucapkan adalah ucapan “Hallo”dan langsung berpelukan dan berciuman. Dengan gaya seperti itu, mereka merasa lebih akrab dan mantap. Mereka tidak peduli soal laki-laki dan perempuan. Yang laki-laki merasa tidak mengapa memeluk rapat dan mencium hangat perempuan yang bukan istri dan mahramnya. Celakanya yang perempuan juga tidak merasa rikuh di muka umum dipeluk dan dicium yang bukan suami atau mahram-nya.
Mereka menganggap bahwa demikianlah cara orang modern kalau bertemu dan mengungkapkan rasa gembira dalam suatu pertemuan. Salam hangat dengan peluk cium seperti itu mereka namai sebagai salam “Crystal”. Mereka tidak berusaha untuk tahu bahwa cara pergaulan bebas seperti itu sesungguhnya tidak hanya bertentangan dengan ajaran agama saja tetapi juga bertentangan dengan cara pergaulan yang diajarkan dan dicontohkan oleh nenek moyang kita bangsa Indonesia …”
(Dikutip dari: “Rambu-Rambu Kehidupan (Antara Haq dan Bathil)”, oleh Drs. H. Muh. Alwi Uddin, M. Ag., khutbah hari raya Idul Fitri 1425 H di lapangan Universitas Muhammadiyah Pare Pare, Sulawesi Selatan, 14 November 2004)

Ada satu hal menarik yang baru-baru ini ditampilkan AnTV pada hari Jumat tanggal 24 Maret 2006. Waktu itu AnTV menayangkan secara langsung (dari Singapura) acara anugerah musik yang diikuti pemusik-pemusik dari Singapura, Malaysia, dan Indonesia. Banyak penyanyi beken dari ketiga negara ini dinominasikan untuk mendapatkan penghargaan bergengsi itu. Sebut saja dari Indonesia ada Krisdayanti, Melly Goeslaw, Marcel, Peter Pan, Padi, Radja, Gigi, dll. Sudah tentu begitu pula dari Singapura dan Malaysia. Yang menarik, dari Malaysia ada 2 penyanyi jebolan Akademi Fantasi yang juga masuk dalam nominasi. Kedua penyanyi ini ternyata mampu bersaing dengan penyanyi-penyanyi senior dari ketiga negara tadi (Oya, pernah beberapa penyanyi dari AF Malaysia bertandang ke Indonesia dan menyanyi sepanggung dengan para akademia Indonesia). Nah, PR untuk jebolan-jebolan AFI di Indonesia (yang sudah berlangsung selama 4 tahun ini, dan sekarang menginjak tahun kelima), apakah kalian mampu seperti mereka – jebolan Akademi Fantasi dari Malaysia itu ?
Akhir kata, semoga Akademi Fantasi Indosiar berhasil membentuk pribadi yang berkualitas dalam kecerdasan emosi (personal dan interpersonal), kecerdasan spiritual, kecerdasan musikal, kecerdasan verbal linguistik, dan kecerdasan gerak-kinestetik. Dan juga tangguh menghadapi seleksi alam.
Semoga juga Indosiar bisa dengan cerdas menerima segala saran dan kritik membangun dari para pemirsanya agar supaya AFI berikut bisa dikemas dengan tayangan yang lebih bagus, memenuhi rasa haus hiburan rakyat Indonesia tetapi sekaligus juga memunculkan poin-poin positif yang bisa dipetik bangsa ini, bukannya hal-hal yang menimbulkan rasa miris sehingga menimbulkan kesan adanya eksploitasi semata.
Semoga pula tulisan sederhana ini bisa menggugah stasiun-stasiun TV lain yang memuat aneka kontes yang serupa tapi tak sama dalam jadwal tayang mereka.
Terakhir, semoga AFI 2006 (dan AFI-AFI seterusnya) menunjukkan bahwa AFI memang layak ditonton oleh mereka yang memerlukan alternatif hiburan berkualitas sekaligus mendidik.

Good luck.

Makassar, Agustus-November 2004, Oktober 2005, Maret 2006.