Saturday, December 15, 2007

Terang Bulan

Ifa (5 tahun) di Sorowako (Luwu Timur) bercakap via telepon dengan tante Niar di Makassar:

Ifa: “Tante Niar, Ifa lagi makan terang bulan keju”

Tante Niar: “Kirimi tante Niar, ya?”

Ifa: “Boleh, nanti Ifa kirimi. Tapi kalau habis jangan marah ya?”

Tante Niar: “Oh, tidak sayang. Makan saja sampai Ifa kenyang. Ada koq terang bulan dijual di Makassar”

Ifa: “Ifa tahu!”

Tante Niar pun tersenyum keki.

Desember 2007

Surat

Affiq (6 tahun) menulis pada 2 buah kertas. Kemudian kedua kertas tersebut dilipatnya hingga menyerupai amplop (kertas surat & amplopnya 2 in 1). Kemudian ia menulis di bagian depan: “Untuk Ifa dan Faqih” (sepupunya di Sorowako) dan “Dari Affiq dan Athifah” (Athifah, adik Affiq baru berusia 1 tahun).

Bunyi isi surat pertama adalah: “TEBAK SIAPA SAYA”.

Sedangkan isi surat kedua berbunyi: “SAYA AFFIQ”

November 2007

Ragu - Ragu

Ifa (5 tahun) bertanya pada mama yang sedang berbicara di telepon dengan seseorang: “Mama, siapa itu?”. “Tante Niar, Nak”, jawab mama.

Ifa berkata lagi, “Mama, Ifa ragu-ragu bicara dengan tante Niar”.

Sesaat mama tertegun takjub mendengar kosa kata baru Ifa.

Selang tidak berapa lama kemudian Ifa bertanya, “Mama, apa itu ragu-ragu?”.

Desember 2007

Pembatas Halaman

Affiq (6 tahun) membuka-buka sebuah buku.

Affiq: “Mama, tanda bacanya Mama saya kasih pindah ya?”

Mama: “Jangan Nak, Mama lagi baca yang itu”

Affiq: “Ini yang Mama baca halaman 48, saya kasih pindah ke halaman 47. Nanti kalau Mama mau baca, Mama kasih pindah lagi ke halaman 48!”

Mama: “?!?!?!?!?”

Desember 2007

Mandi Rinso

Saat Affiq berusia 4 tahun, kulitnya semakin gelap hingga ia sering diisengi lato’nya (kakek, bahasa Bugis): “Kalau berendam, pakai rinso supaya jadi putih ko”. Setiap diisengi demikian, mama selalu berusaha meluruskan bahwa lato’nya hanya main-main saja. Kalau mau mandi harus dengan sabun mandi sebab jika dengan sabun cuci, kulit akan gatal-gatal.

Setelah itu Affiq akan berujar, “Ini Ato’, ngomong sembarang”.

Suatu saat, saya lupa membuang air bekas bilasan cucian dari baskom yang saya gunakan. Tiba-tiba saja saat saya sadar, Affiq sudah berendam di dalamnya. Saat saya tanyakan mengapa ia berendam di situ. Affiq menjawab, “Ato’ bilang berendam di sini bagus ...”

Desember 2007

Affiq Punya Adik

Mama hamil anak kedua sewaktu Affiq berumur 5 tahun. Saat ‘sosialisasi pertama’ pada Affiq, mama dan papa menginformasikan tentang kehadiran janin di perut mama yang sudah mulai membuncit. Inilah komentar Affiq waktu itu: “Mama makan bayi?”. “Tidak Nak Tuhan yang taruh adik di perut Mama”. Tetapi Affiq yang belum memahami konsep ‘hamil’ terus melantunkan kalimat ini berulang kali, “Mama makan bayi ...”.

Affiq ikut menginap di rumah bersalin. Saat lato’nya (kakek, bahasa Bugis) mengajak pulang, ia malah berujar, “Ato’ saja yang pulang, ambilkan saya baju ganti dan handuk. Saya mau bobo di sini”.

Maka kewaspadaan pun ditingkatkan. Sejak itu Affiq seperti mendapat barang baru yang dengannya ia antusias bereksplorasi dan bereksperimen. Melompat-lompat di sekitar sang adik yang ia sapa “Bayi”, mencoba menggendong, hingga mencoba menyusuinya.

Tiba-tiba suatu hari ia bertanya, “Mama, saya tidak lihat waktu Athifah lahir. Dia keluar dari mana?”. Mama gelagapan. Kata papa, bilang saja “Dari antara 2 ibu jari kaki”. Tetapi rupanya Affiq punya jawaban sendiri. Ia berkata, “Athifah keluar dari pantat, Mama?” ...

Suatu saat, mungkin karena merasa sudah cukup besar untuk menggendong Athifah, ia bertanya, “Mama, kapan Saya bisa menggendong Athifah?”. Mama berpikir cukup panjang sebelum menjawab: “Nanti Nak, saat usiamu 20 tahun!”. Affiq tidak protes. Ia belum tahu bilamana saat itu tiba, walaupun dipaksa ia pasti tidak akan mau menggendong Athifah karena saat (insya Allah) ia berusia 20 tahun, Athifah berusia 15 tahun!

Desember 2007

Saat Indah Berbagi Kasih Dengan Si Buah Hati

Seperti biasa, tidak ada puasnya saya ciumi Athifah. Bau khasnya di saat belum mandi seperti ini … mmm nikmat sekali merasuki penciuman saya. “Mandi, Nak” kata saya. Ia menatap saya seraya memegang celananya, “Pipis” katanya. Athifah sangat menikmati acara mandinya. Usai mandi dan berpakaian, kembali saya memuaskan indera penciuman saya … mmm … tak kalah nikmatnya dengan bau yang tadi hanya bedanya kali ini bau khasnya telah berbaur dengan wangi minyak telon dan aroma sweet floral dari cologne gel salah satu produk. “Nenen, Nak”, ajak saya. “Nenen”, ulangnya dengan mata berbinar.

Seperti biasa, kami menikmati prosesi menyusui ini. Saya baringkan ia, menyodorkan puting ke arahnya, dan ia menyambutnya dengan lahap. Bibir saya pun mengalunkan syahadat, salawat, al-Fatihah, dan ayat kursi, ‘kidung resmi’ saya sejak pertama kali menyusuinya.

Tidak terasa usianya sudah setahun. Masih jelas dalam ingatan saya saat pertama Athifah menyusu dengan lahap, beberapa menit setelah kelahirannya. Athifah membuktikan pernyataan yang pernah saya baca bahwa bayi yang baru lahir jika tidak lebih dari sejam sejak kelahirannya disusui maka refleks mengisap yang sudah terjadi sejak masih dalam kandungan akan dengan cepat ia lakukan sehingga ia bisa menyusu dengan baik. Saat itu setelah menolak tawaran susu formula dari bidan - masih dalam ruang bersalin, beberapa saat setelah kelahirannya ia sudah mampu menyusu dengan lahap, begitu pun sampai beberapa hari setelahnya hingga tiba saatnya kami pulang ke rumah.

Siang hari, Affiq si sulung berusia 6 tahun pulang sekolah. Athifah dibangunkan oleh lengking suara kakaknya yang melongok ke dalam kamar. “Tata”, katanya dengan ekspresi ceria.

Lomba Minum Susu

Melihat ‘kecepatan’ Affiq minum susu selama ini, saya jadi punya niat mengikutkannya lomba minum susu. Akhirnya kesempatan itu datang juga. Suatu sore saat saya dan suami berbelanja di pasar swalayan dalam sebuah plaza yang baru buka, kami melihat pengumuman lomba minum susu dengan syarat-syarat yang sangat mudah: hanya perlu menyertakan bukti berupa struk belanja di pasar swalayan tersebut dan tanpa dipungut biaya apapun kami sudah berhak memperoleh satu nomor peserta. Semua peserta lomba malah dijanjikan mendapatkan hadiah dari beberapa sponsor, dengan sponsor utama salah satu produk susu anak-anak terkenal.

Esok harinya kami bertiga berboncengan naik motor ke plaza itu. Tidak disangka ternyata jumlah peserta lomba hampir mencapai bilangan 500 anak yang kesemuanya dibagi dalam 2 kelompok usia: A(4–6 tahun) dan B(7–10 tahun). Affiq masuk dalam kelompok A dan ia mendapatkan nomor dada 33. Panitia terlihat berusaha menyelenggarakan lomba sebaik mungkin. Sayangnya karena pekerjaan mereka tidak terkoordinasi dengan baik, durasi waktu lomba berlangsung sangat panjang karena semua teknis acara berlangsung ‘seri’, padahal sebenarnya banyak kegiatan yang bisa dilaksanakan secara ‘paralel’ dengan pembagian tugas yang baik.

Cukup lama juga menunggu giliran Affiq. Saya berusaha menjaga perasaannya, jangan sampai ia bosan dan merajuk. Saya berusaha mengkomunikasikan aturan lomba padanya sebaik mungkin. Beberapa ibu belum apa-apa sudah sedemikian menekan anak-anak mereka. Seolah-olah ini olimpiade sains internasional. Atrium mungil berisi beberapa peralatan dan mesin permainan anak di lantai dasar plaza terasa pengap, sesak oleh ratusan orang. Ada peserta yang bahkan diantar oleh ibu dan 4 saudaranya!

Di babak penyisihan pertama Affiq berlomba dengan 9 anak lain. Ia berhasil menghabiskan 3 cup mungil susu dengan baik. Walaupun bukan ia yang tercepat, namun karena ia minum tanpa meninggalkan ceceran noda di atas meja, ia berhasil memenangkan tahapan itu. Senyum bangganya terkulum saat saya memujinya. Di babak penyisihan kedua, Affiq mulai terlihat jenuh. Hiruk-pikuk seliweran orang membuat saya lupa mengulangi penjelasan detil aturan lomba pada Affiq. Affiq mulai gugup memperhatikan 2 cup di depannya yang digeser ke sana ke mari oleh panitia saat mengatur meja. Cup pertama ia minum dengan hati-hati namun ia bingung dan makin gugup saat hendak memegang cup ke-2 apalagi saat teriakan instruksi terdengar dari mana-mana. Alhasil ia kalah. Dan tangisnya pun pecah seolah memecah beban pikirannya. “Saya tidak mau kalah!”, teriaknya beberapa kali. Kami menenangkannya di luar plaza. Kami tunjukkan walau kalah kami tetap sayang padanya. Akhirnya senyum cerianya tampak saat menyantap ayam goreng kegemarannya di restoran di sudut plaza.

Saya percaya Affiq belajar banyak hari itu, bahwa walaupun ambisi diperlukan namun sportifitas harus diutamakan dan di atas segalanya, kami tetap menyayanginya tanpa peduli ia menang atau kalah.

Anak - Karunia Tak Terhingga

Secara medis, saya dan suami sulit memiliki anak. Berdasarkan hasil pemeriksaan dokter spesialis kandungan di awal pernikahan kami, masing-masing dari kami memiliki masalah spesifik yang membuat kami berdua sama-sama sangat jauh dari subur. Saat itu dokter sampai memberikan gambaran mengenai inseminasi buatan dan program bayi tabung yang mungkin harus kami jalani.

Menjelang 1 tahun usia pernikahan kami, saya dan suami menjalani semacam terapi dengan obat-obat penyubur, selain itu dokter juga meminjamkan kami Maybe Baby - alat pengetes masa subur. Mulanya saya hanya mendapatkan dosis 1 x 1 Profertil (obat penyubur). Bulan-bulan berikutnya dosisnya ditingkatkan oleh dokter hingga 1 x 3. Dari cerita teman saya, ia hanya perlu mengkonsumsi obat tersebut dengan dosis 1 x 1 sampai akhirnya hamil. Tetapi ternyata tidak demikian halnya dengan saya. Meskipun dosis obat tersebut ditingkatkan (sementara suami saya juga tetap mengkonsumsi obat), saya belum juga berhasil hamil.

September 2000, kami berobat secara alternatif pada seorang tabib. Saat itu semua obat dokter yang sedang dikonsumsi kami tinggalkan. Kami hanya berobat pada tabib tersebut dan pasrah pada ketentuan Allah. Bukannya mengecilkan pengobatan medis, hanya saja kami lebih memilih obat alami, tanpa efek samping sama sekali, lagi berkah (air putih yang dibacakan do’a). Alhamdulillah, mendekati penghujung tahun 2000 saya hamil dan melahirkan seorang bayi laki-laki yang sehat pada 9 Juli 2001, di saat pernikahan kami menginjak usia 2 tahun. Bayi itu kami beri nama Muhammad Affiq Khalid Ghiffari Solihin.

Kalau saat itu ditanya mengapa saya ingin punya anak, terus terang saya tidak tahu jawaban pastinya. Mungkin karena saya melihat betapa bahagia dan terlihat lengkapnya teman-teman saya yang telah memiliki anak, atau mungkin juga karena saya bosan ditanya sana-sini dengan pertanyaan yang isinya sama tetapi dilontarkan dengan redaksi berbeda-beda: “Sudah hamil?”. Belum lagi, ada yang merespon jawaban “Tidak” saya dengan kalimat “Koq bisa?”, dengan mimik yang menusuk hati. Yang jelas semua itu membuat saya berusaha untuk bisa hamil.

Kalau sekarang ditanya, bagaimana rasanya dititipi anak oleh Yang Mahakuasa, jawaban saya adalah nikmat luar biasa. Dan rasa nikmat itu tidak bisa saya ungkapkan seluruhnya dengan kata-kata, bahkan dengan semua kosa kata yang saya miliki karena nikmat itu sangat meresap dan membungkus hati saya dan sering membuat saya menitikkan air mata haru.

Mulai dari nikmat keberhasilan pemberian ASI eksklusif dalam 6 bulan pertama kehidupannya hingga apa yang saya rasakan sekarang saat Affiq sudah berusia 5 tahun. Saya merasakan manfaat luar biasa dari ASI eksklusif, terutama pada kesehatan Affiq. Dibandingkan bayi-bayi lain seusianya yang tidak mendapatkan ASI eksklusif, Affiq tumbuh lebih sehat dan tak kalah montoknya. Bahkan di saat saya dan suami beberapa kali terserang flu, ia tak tertular. Berat badannya juga bertambah dengan signifikan, rata-rata 1 kg per bulannya. Bulan demi bulan hingga berbilang tahun, perkembangan kecerdasannya menggembirakan. Alhamdulillah, di usia 3 tahun 4 bulan ia memperdengarkan saya kata pertama yang berhasil ia eja: “JANE”, kata itu tertera di kursi balitanya. Sambil bermain, ia memang saya ajarkan mengenal huruf sejak ia berusia setahun kemudian perlahan-lahan saya ajar mengeja melalui bermacam media termasuk komputer (di antaranya melalui software Power Point), juga sambil bermain. Hingga menjelang usia 4 tahun ia sudah bisa membuat file presentasinya sendiri dengan animasi yang diinginkannya. Sungguh nikmat menjadi orang pertama yang menyaksikan pertumbuhan dan perkembangannya, sejak ia tidak tahu apa-apa hingga ia mengetahui cukup banyak, sejak ia belajar berjalan hingga ia bisa berlari. Sejak ia belum bisa bicara hingga ia fasih mengoceh, menanyakan apa saja, dan bereaksi secara verbal dengan lontaran-lontaran yang tak terduga. Dan masih banyak lagi.

Menyelami kedalaman mata Affiq, sungguh kenikmatan luar biasa bagi saya. Nikmat yang tidak pernah berkurang rasanya sejak saya menatapnya sambil menyusui hingga di saat-saat sekarang ini, jika menatapnya yang sedang berceloteh riang tentang apa saja.

Menyaksikan keriangannya saat bermain, saat membuka lembaran buku kesayangannya, saat menggoda saya dan suami juga menciptakan kenikmatan luar biasa di hati saya. Pada kenyataannya, sungguh – saya tidak sanggup bercerita secara verbal semua nikmat luar biasa yang dianugerahkan Allah melaluinya. Segala nikmat yang tentu saja membuat saya merasakan makna menyandang predikat ‘ibu’.

Saya tidak pernah berobat secara medis lagi untuk bisa hamil setelah melahirkan Affiq. Baik saya maupun suami juga tidak menggunakan peralatan kontrasepsi dalam keintiman kami. Tetapi kami masih mengunjungi tabib pengobatan alternatif yang dahulu mengobati kami. Atas kehendak Allah, saya hamil di tahun 2006 ini. Betapa suka citanya kami. Di saat Affiq kami kabari tentang kehamilan saya, ia kelihatan berpikir. Kemudian, sambil menatap perut saya yang mulai membuncit terlontar pertanyaan ini dari mulut mungilnya: “Mama makan bayi?”. Saya bilang, “Tidak, Allah yang menaruh adik bayi dalam perut Mama”. Tetapi konsep ini masih sangat abstrak baginya. Berulang kali ia melantunkan kalimat ini: “Mama makan bayi …. Mama makan bayi …. “.

Affiq juga menciptakan cerita sendiri tentang ‘kehamilannya’. Ia ikut-ikutan hamil! Ia mengatakan di dalam perutnya ada bayi perempuan. Suatu saat terdengar bunyi yang berasal dari perutnya, ia berkata: “Perutku bunyi, bayinya sendawa”. Di saat lain, ketika ia sedang malas bergerak, ia berkata pada saya, “Mama, saya tidak bisa bergerak, saya hamil. Di perutku ada bayi”. Atau saat ia menginginkan jenis makanan tertentu, ia meminta kepada saya dengan dalih yang meninginkan makanan itu adalah bayinya!

Alhamdulillah kehamilan saya kali ini sangat nikmat. Walaupun dari bulan ke bulan perut saya makin membesar, saya masih bisa mengerjakan tugas-tugas kerumahtanggaan. Dan seperti kehamilan terdahulu, saya tidak punya masalah dengan ngidam. Nafsu makan saya bahkan biasa-biasa saja, demikian pula keinginan saya terhadap sesuatu pun biasa-biasa saja.

Hasil USG rahim saya pada tanggal 28 Juni 2006 menunjukkan janin dalam kandungan saya berusia 26 minggu 3 hari. Kemudian USG pada tanggal 26 Juli 2006 menunjukkan usia janin saya 30 minggu 3 hari, jenis kelaminnya sudah terlihat jelas. Waktu itu, hasil USG menunjukkan tanggal perkiraan melahirkan adalah 1 Oktober 2006. Mengenai jenis kelamin, saya dan suami menyerahkan saja sepenuhnya pada kehendak Yang Mahakuasa, kami tidak berani berharap banyak. Diberi kesempatan hamil saja sudah merupakan karunia yang tak terhingga bagi kami. Pasutri yang salah satunya saja kurang subur sangat sulit punya anak, apa lagi yang seperti kami ini, yang keduanya kurang subur. Yang subhanallah – ajaib, hasil USG pada tanggal 24 Agustus 2006 menunjukkan usia kandungan saya 36 minggu 2 hari, dan tanggal perkiraan melahirkan 18 September 2006! Masya Allah ... saya terkagum-kagum dengan hal ini. Allah mendiskon masa penantian saya sebanyak 2 minggu! Lalu, saat mendengar lantunan ayat suci dari pengeras suara masjid menggemakan ayat yang artinya: “Maka nikmat Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan ?”, air mata haru tergenang di sudut-sudut mata saya. Ya, nikmat mana lagi yang saya dustakan ? Tidak, tidak ada nikmat-NYA yang pantas saya dustakan apalagi nikmat dirahmati seorang anak laki-laki, dan sekarang ini diizinkan mengandung seorang bayi lagi ...

Saat ini saya masih mengkonsumsi susu berkalsium tinggi, secara bergantian yang rasanya plain atau vanila. Saya berharap bisa lebih baik lagi dalam menjalankan tanggung jawab sebagai seorang ibu dan Affiq bisa menerima kehadiran adiknya dengan baik. Dan, apakah ‘prediksi’ Affiq tentang jenis kelamin adiknya benar atau salah ... saat tulisan ini dibuat saya sedang menghitung hari ...

Makassar, 29 Agustus 2006

ASI – Bekal Tanpa Tanding untuk Anak Cerdas

Alhamdulillah, setelah menunggu selama 5 tahun sejak kelahiran Affiq anak pertama kami, Athifah Linnia Solihin hadir di tengah keluarga pada tanggal 24 September 2006 bertepatan dengan 1 Ramadhan. Berhubung ini pengalaman kedua, saya dan suami tidak setegang waktu pengalaman pertama dahulu. Kami sudah punya ‘patron’ dalam mendidik dan mengasuh anak yang akan kami terapkan pada Athifah mulai dari cara-cara merawatnya, asupan gizinya, peran saya dan suami sebagai orangtua dalam menstimulasi segala aspek kecerdasannya, hingga visi dan misi kami dalam pendidikannya.

Diri saya menyimpan harapan
, anak-anak saya menjadi anggota tim yang tangguh bersama saya dan suami untuk bersinergi dalam kehidupan di dunia dan akhirat. Dalam sinergi itu kualitas diri kami masing-masing seharusnya semakin baik dari hari ke hari sehingga segala urusan dunia dan akhirat diridhai Allah SWT.

Untuk itu mula-mula saya sadar sekali akan posisi saya sebagai guru pertama bagi anak-anak. Sejak sebelum Affiq lahir
, saya rajin mencari tahu melalui media cetak, elektronik, internet, dan pengamatan langsung tentang bagaimana membangun keluarga berkualitas, demikian pula suami saya.

Pengetahuan mengenai ASI (air susu ibu) adalah salah satu di antara sekian ‘ilmu’ yang saya peroleh. Pertumbuhan otak seorang anak mencapai 70% dari otak dewasa sejak dalam kandungan hingga usia 1 tahun dan mencapai 90% dari ukuran otak orang dewasa pada usia 3 tahun. Dalam periode tentu saja dibutuhkan stimulasi yang maksimal. Sejak hamil saya berusaha memberikan yang terbaik dalam hal asupan gizi di antaranya melalui susu yang saya minum begitu pun setelah melahirkan
, saya berusaha terus menyusui sambil memperhatikan asupan gizi, termasuk susu yang saya konsumsi.

ASI mengandung nutrien-nutiren khusus dalam komposisi ideal yang sangat berguna bagi pertumbuhan otak bayi manusia. Nutrien-nutrien khusus ini sedikit sekali atau malah tidak terkandung dalam susu sapi
, di antaranya: taurin (zat putih telur – hanya terdapat di ASI, juga berguna untuk pertumbuhan susunan saraf dan retina), laktosa (zat hidrat arang utama dari ASI, hanya sedikit terdapat dalam susu sapi), dan asam lemak ikatan panjang (DHA, AA, omega-3, omega 6, merupakan asam lemak utama ASI yang hanya sedikit terdapat dalam susu sapi). Hasil penelitian Dr. Lucas (1993) terhadap 300 bayi prematur menunjukkan bahwa bayi prematur yang hanya diberi ASI eksklusif mempunyai IQ lebih tinggi 8,3 poin dibanding bayi prematur yang tidak diberi ASI. Pada penelitian Dr. Riva (1997) ditemukan bahwa bayi yang diberi ASI eksklusif, ketika berusia 9,5 tahun mempunyai tingkat IQ 12,9 poin lebih tinggi dibanding anak yang ketika bayi tidak diberi ASI eksklusif[1]. Itu hanya sekelumit dari manfaat/kelebihan pemberian ASI pada bayi. Karena itu, seperti yang dahulu saya lakukan pada Affiq, saya berniat dan berusaha untuk memberikan ASI kepada Athifah sampai usianya 2 tahun.

Allah yang Mahapemurah mempermudah proses kelahiran Athifah. Athifah lahir secara normal hampir 3 jam setelah kedatangan saya di rumah bersalin. Sesaat setelah itu niat baik saya untuk menyusui mendapatkan cobaan.
Bidan yang menolong persalinan saya mencoba mempengaruhi saya untuk memberikan susu formula pada putri mungil kami. Hal ini dilakukan semata-mata karena pihak rumah bersalin sudah terlanjur membuka kemasan susu formula tanpa persetujuan kami. Bidan itu berkata, “Ibu, biasanya pada hari-hari pertama bayi yang kurang menyusu akan berwarna kuning. Ibu yakin tidak akan memberikan susu formula? Lebih baik bayi Ibu diberi susu formula supaya ia tidak kuning!”. Saya menjawab, “Tidak Sus, anak pertama saya dulu diberi ASI, dan saya akan berusaha menyusui bayi saya ini”. Bidan tersebut bukannya menyerah, ia malah masih mencoba berargumen supaya saya menerima usulannya namun saya dan suami (ia mendampingi saya selama proses persalinan) tidak goyah, kami tetap yakin keputusan menyusui buah hati kami adalah keputusan yang paling tepat.

Di antara rasa bahagia setelah melahirkan
, terselip sedikit rasa miris di hati saya. Betapa tidak, sungguh ironis, orang yang seharusnya membimbing para ibu yang baru melahirkan untuk memberikan bayi mereka ASI yang tentu saja the best new born baby’s feed in the world malah menyuruh saya memberikan bayi saya makanan ‘kelas dua’ di saat saya masih sulit berpikir sehat karena baru melahirkan! Syukurnya saya sudah mendapat pengetahuan memadai dan sudah punya pengalaman tentang ASI. Jadi saya bisa ‘memperjuangkan’ hak bayi saya untuk mendapatkan kolostrum yang mengandung antibodi dan antibiotika alamiah terbaik di awal hari-harinya di dunia ini.

Athifah sudah menyusui dengan lahap saat saya masih di ruang bersalin.
Di hari pertamanya di alam fana ini ia sudah pandai mengisap puting payudara saya. Benar pernyataan yang pernah saya baca bahwa refleks mengisap bayi baru lahir paling bagus dalam jangka waktu satu jam setelah kelahirannya. Ia akan mudah menyusui jika sesegera mungkin setelah kelahirannya mulutnya ditempelkan pada puting ibunya. Ini terbukti pada Athifah. Syukur pada Allah, selama di rumah bersalin ia mendapatkan kolostrum-nya secara maksimal.

Niat tulus saya untuk terus menyusui Athifah pada hari-hari berikut setelah kepulangan kami dari rumah bersalin bukannya tanpa cobaan. Beberapa kali saya mengalami bengkak pada payudara
, dan satu kali demam. Serta hari-hari yang melelahkan dalam proses menyusui, hal ini karena saya harus sering bangun tengah malam untuk menyusui dan ada sedikit masalah dengan ukuran puting saya yang masih terlampau besar untuk mulut bayi semungil Athifah. Tak jarang kami berdua menangis karena ia kesulitan mengisap puting saya. Namun Allah memang Mahapemurah dan Mahapenyayang, Ia pasti menciptakan segala sesuatu-Nya pada ‘ukuran’ yang tepat. Saya yakin, walaupun Athifah kesulitan mengisap puting namun karena ia darah daging saya, ia pasti bisa saya susui. Allah tidak mungkin salah dalam hal ini. Alhamdulillah, Ia mengabulkan do’a saya.

Kini Athifah sudah berusia 9 bulan. Saya berharap Allah tetap memberi saya jalan untuk terus menyusuinya. Pada kenyataannya ada nikmat-nikmat lain yang saya rasakan dalam proses menyusui yaitu mengalirnya perasaan bermakna telah menjadi seorang ibu yang diberi kemampuan untuk menyusui
, mengalami indahnya rasa yang menjalari hati kala menatap kedalaman beningnya mata Athifah saat ia begitu lahap menikmati air susu saya, dan saya merasa semakin mengenali serta memahaminya dari waktu ke waktu.

Ya Allah
, izinkan saya untuk terus menyusui Athifah, saya tak rela menukar nikmat-nikmat menyusui yang Engkau berikan ini dengan yang lain.

Makassar, 4 Juli 2007



[1] Dr. Utami Roesli, SpA., MBA.,CIMI.,Seri 1: Mengenal ASI Eksklusif, Trubus Agriwidya, 2000.

Saturday, December 01, 2007

SMS

Anak-anak balita sekarang sudah tahu yang namanya SMS. Begitu pula dengan Ifa. Suatu ketika, ia meminta mamanya meng-sms tante Niar.

Ifa : “Mama, tolong sms-kan tante Niar!”

Mama : “Ifa mau bilang apa?”

Ifa : “Ifa mau bilang: ‘Tante Niar apa kabar ? Baik-baik?’ ...”

Mama mengetik pesan Ifa.

Mama : “Terus apa lagi?”

Ifa : “Kakak Affiq apa kabar? Baik-baik?”

Mama : “Terus apa lagi?”

Ifa : “Adik Athifah apa kabar, baik-baik?”

Mama : “Terus?”

Ifa : “Om Chullink apa kabar, baik-baik?”

Mama tentu saja menuliskan pesan Ifa dalam bentuk yang sesingkat-singkatnya.

Mama : “Terus?”

Ifa : “Ifa sayang tante Niar. Kakak Affiq mau ndak ke Sorowako main sama Ifa?”

Mama terus mengetikkan lms (long message service) dalam format sesingkat-singkatnya dari Ifa dan mengirimkan ke tante Niar.

Januari 2007

Kue Putu

Kejadian ini berlangsung sewaktu Affiq masih berumur 4,5 tahun.

Sejak usia setahun lebih, Affiq suka sekali makan kue putu yang dijajakan penjualnya dengan pikulan. Ia senang malahap kue imut hangat dengan gula merah di dalamnya dan taburan kelapa parut di luarnya.

Jika terdengar bunyi ‘peluit’ yang berasal dari pikulan sang penjual putu, Affiq akan berlari tergopoh-gopoh. Sembari bertepuk tangan keras-keras dengan berulang kali, ia meneriakkan kalimat ini :

“KUE JALAN PUTU BUNYI ..... KUE JALAN PUTU BUNYI .... KUE JALAN PUTU BUNYI ...” sampai sang penjual menghentikan langkahnya dan memarkir pikulannya di depan pagar rumah kami ....

Kue Jalan Putu Bunyi adalah sebutan Affiq untuk ‘paket penjual dan jualannya yang dijajakan sembari dipikul’.

19 Februari 2007

Kado

Saat adik baru lahir, keluarga dan kawan-kawan mama dan papa menjenguknya. Suatu hari, sahabat-sahabat mama saat SMP, tante Ira, datang bersama tante Uli dan anaknya Dhani (4 tahun). Affiq (5,5 tahun) terlibat dalam interaksi seru dengan Dhani selayaknya 2 anak super aktif sedang bermain. Mama, tante Uli, dan tante Ira juga terlibat pembicaraan seru karena mereka sudah lama tak jumpa.

Tibalah saat akhir kunjungan saat tante-tante itu berpamitan hendak pulang. Dengan polosnya, Affiq berseru kepada Dhani:

“Pulang saja. Besok datang lagi ya ....”

Dasar ibu-ibu, mama dan tante-tante itu masih cerita. Affiq melanjutkan kalimatnya:

“Pulang .... besok datang lagi bawa kado ... tiga ...! “

Dhani tak mau kalah, saat mereka bertiga sedang berjalan menjauhi rumah, ia membalikkan badannya sambil berteriak:

“Jangan .... nanti habis uangnya ibuku!”

Januari 2007