Sunday, February 18, 2007

Sisi Lain “Nge-Date-in Bonyok

Saat ini, stasiun TV ramai dengan tayangan-tayangan Reality Show. Meskipun tidak menjadikannya tontonan favorit, kadang-kadang saya menjadi salah satu penikmatnya dengan alasan berikut: saya mencoba belajar dari apa saja, siapa saja, dan dari mana saja. Dan mencoba mengamati banyak sisi dari tayangan-tayangan itu. Minimal, buat melatih logika dan rasa.

Di minggu terakhir Februari sampai minggu pertama Maret 2006, secara tidak sengaja saya melihat tayangan “Nge-date-in Bonyok” di Global TV. Ya, saya katakan tidak sengaja karena tayangan itu muncul setelah rentetan film kartun dari Nickelodeon habis ditonton oleh anak saya, sementara saya masih menemaninya nonton. Pertama kali, saya tidak menontonnya sampai selesai, kemudian beberapa hari kemudian ternyata tayangan yang sama dimunculkan kembali pada waktu yang kurang lebih sama.

Saat durasi awal penayangannya, saya mengira peserta acara ini pasti tahu bahwa mereka akan menuai tanggapan pro maupun kontra. Dan sebagai manusia biasa yang mempunyai prinsip-prinsip sendiri, saya pun memiliki tanggapan tersendiri terhadap acara ini. Maksud saya membuat tulisan ini bukannya untuk membahas tanggapan saya mengenai benar-salah atau etis-tidaknya acara ini. Mengenai sikap saya, cukup menggambarkan jika saya mengatakan hal demikian:

Saya adalah ibu rumah tangga berusia hampir 32 tahun, dengan satu anak laki-laki berusia 4,5 tahun. Dan 10 tahun yang lalu, atau jika seandainya saya dikembalikan oleh waktu ke usia awal 20-an, saya tidak akan mengikuti acara seperti ini untuk memilih pasangan karena alasan-alasan pribadi yang sangat prinsipil bagi saya. Ataupun jika umur saya masih sampai di 16 tahun mendatang, saya tidak akan membiarkan anak saya mengikuti acara seperti ini untuk memilih pasangan, dengan alasan-alasan yang juga ‘masih’ prinsipil.

Tapi bukan itu yang akan saya bahas. Saya tidak hendak perang dengan tulisan ini. Setiap orang berhak memiliki tanggapan-tanggapan tersendiri, entah itu pro ataupun kontra. Saya hanya hendak menguak sisi lain yang saya lihat di balik tayangan ini. Selamat membaca.

Baiklah, bagi yang belum pernah tahu bentuk Reality Show ini, saya berikan sedikit gamabaran. Acara ini mengulas tentang pemuda/pemudi yang sedang mencari kekasih dari 3 kandidat pemudi/pemuda yang ‘tersedia’. Untuk itu ia harus mengencani ibu/ayah (NYOkap/BOkap, kalau dibalik dibaca: BONYOK) para kandidat terlebih dahulu di mana pun itu (bisa di tempat makan, tempat olah raga atau di tempat-tempat hiburan lain). Nah, dari perbincangan dengan para BONYOK ini, sang pemuda/pemudi yang sedang mencari kekasih ini harus menggali tipe/karakter para kandidat dan kemudian memilih salah satu di antara mereka untuk kemudian dikencani atau kalau suka kemudian dipacari. Para BONYOK pun pasti mempromosikan pemudi/pemuda mereka agar ‘layak’ dipilih oleh sang pemuda/pemudi.

Episode yang saya tonton mengulas Galih (20 tahun) dan para kandidat: Dian (20 tahun), Ines (20 tahun), dan Sahira (17 tahun) dengan para ibu mereka. Galih harus mengajak para ibu gadis-gadis manis ini ke suatu tempat untuk mencari tahu siapa yang paling cocok untuk dikencaninya kelak. Oleh Galih, ibu Dian diajak ke tempat bermain golf, ibu Ines diajak ke restoran Dim Sum, dan ibu Sahira diajak ke tempat bermain go kart dan biliar. Galih tidak terkesan dengan ibu Dian karena orangnya agak pendiam sehingga lebih banyak Galih yang memancing pembicaraan dan ia memutuskan tidak memilih Dian karena menurutnya ibu Dian ‘terlalu’ protektif (karena hanya membolehkan Dian keluar sampai jam 7 malam, dan tidak membolehkan Dian larut dalam DUGEM – Dunia GEMerlap – dunia malamnya Jakarta). Galih kelihatan agak terkesan dengan ibu Ines karena orangnya lebih suka berbicara. Kelihatannya Galih suka dengan makanan kesukaan Ines (siomay dan bakpao) tetapi ia tidak memilih Ines karena ia tidak menyukai parfum favorit Ines. Galih memilih Sahira yang masih sangat belia karena ia paling terkesan dengan ibu Sahira yang menurutnya serba bisa, dan karena Sahira dinilainya mandiri (karena bisa menyetir mobil sendiri) dan tidak tergantung pada orangtua.
Oya, ada juga alasan Galih tidak memilih salah satu dari keduanya karena satu kebiasaan. Saya lupa ini kebiasaan Dian atau Ines, yaitu masih suka tidur dengan ibunya meskipun sudah semester 4 di perguruan tinggi (hal ini dinilainya kurang mandiri).

Oke, dengan sudut pandangnya Galih berhak memiliki argumen-argumen tersebut. Tetapi dari kaca mata saya, saya memiliki pendapat lain. Bagi orang yang hendak memilih pasangan hidup (baca: istri) seharusnya bersyukur, di zaman yang makin bebas sekarang ini apalagi di kota metropolitan Jakarta, masih ada gadis yang berusaha dijaga kehormatannya semaksimal mungkin oleh orangtuanya. Dan jika hal ini dipatuhi dengan penuh kesadaran oleh sang gadis, itu berarti ia pandai menjaga dan membentengi dirinya. Sehingga tidak ada kemungkinan bagi calon suaminya untuk mendapatkan calon istri yang free/ugal-ugalan, pembangkang, bahkan ‘bekas’. Dan untuk seterusnya ia akan jadi istri yang tahu menjaga kehormatan dirinya dan suaminya dan kemudia akan mendidik anak-anak yang tahu menjaga diri mereka pula.

Masih dari kaca mata saya, gadis berusia 20 tahun yang masih suka tidur dengan ibunya pastilah memiliki hubungan batin yang sangat akrab dengan ibunya. Gadis seperti ini pasti tidak akan membiarkan ibunya kecewa sehingga ia akan semaksimal mungkin menjaga dirinya dari pengaruh-pengaruh buruk dan akan selalu berusaha mencetak prestasi dalam bidang-bidang positif demi membuat ibunya bangga padanya. Satu lagi, ia pasti menurunkan sifat-sifat kodrati keibuan yang mulia dari ibunya karena ia akan berusaha – paling kurang – sama dengan ibunya dan akan merefleksikan sifat-sifat mulia itu ke orang-orang terdekatnya. Dan coba tebak, kelak jika ia menikah, siapa yang paling akan merasakan refleksi keibuannya itu ? Tepat, suaminya ! Jadi, mandiri atau tidaknya seseorang tidak hanya bisa diukur dari satu parameter saja bahkan hal yang dinilai tidak mandiri bisa saja mengandung nilai lain yang jauh lebih mulia.

Dari kedua hal ini, saya mencoba mengatakan bahwa salah satu hal yang membentuk karakter seseorang adalah genetika dan pengaruh/pendidikan dari orangtuanya, terutama ibunya. Karena ibu adalah guru pertama sekaligus utama, dan figur yang utama bagi seorang gadis. Berikutnya di jenjang pernikahan, karakter suami-istri sangat berpengaruh dalam mengatasi kerasnya ombak dan angin di tengah lajunya bahtera rumah tangga mereka.

Meskipun ibu sangat berpengaruh dalam pembentukan karakter seorang anak, di usia remaja dan dewasa masih banyak hal lain yang membentuk karakter seorang perempuan (dan juga laki-laki) dewasa. Yaitu lingkungan dan proses pembelajaran seseorang menuju kedewasaan. Dan hal ini memegang peranan yang sangat besar karena di saat kedua hal ini berpengaruh, seseorang tidak lagi terlalu tergantung pada orangtuanya karena sedang mencari jati diri sendiri. Dan setiap manusia memiliki ‘kehendak bebas’ hendak menjadi apa, melakukan apa, dan hendak ‘ke mana’. Saya berani mengatakan ini karena saya pun mengalaminya. Di saat saya mulai menerapkan mencoba belajar dari apa saja, siapa saja, dan dari mana saja di usia SMU hingga usia 20-an (apalagi saat ini), orangtua saya tidak pernah tahu buku apa saja yang sudah saya lalap, pelatihan apa saja yang sudah saya ikuti, tayangan apa saja yang sudah saya tonton, diskusi apa saja yang sudah saya lalui, dan pembelajaran serta hikmah apa saja yang sudah saya peroleh dari semua itu. Maksud saya, tidak selamanya karakter seseorang tergambar dari ibunya atau bisa dilukiskan oleh ibunya. Kalau boleh saya ibaratkan, hal itu seperti melihat sekeping potongan puzzle dari sebuah gambar utuh!

Buat Galih, saya minta maaf jika ada kata-kata saya yang tidak berkenan di hati. Mohon dianggap tulisan saya ini sebagai sharing sudut pandang saya sebagai seorang ibu muda (yang pernah melewati usia kepala 2) yang sudah hampir 7 tahun berumahtangga. Meski usia rumah tangga saya masih seumur jagung, tetapi ternyata saya sudah menyimak hal-hal yang kali ini saya coba bagi dengan Galih (dan mungkin belum Galih ‘lihat’). Saya yakin masih banyak hal lagi yang perlu saya simak dalam kehidupan berumah tangga saya ke depan, dan karenanya saya mencoba belajar dari apa saja, siapa saja, dan dari mana saja.

Terakhir, ada satu hal yang membuat saya sangat terkesan yaitu hubungan yang sangat akrab di antara ibu dan anak. Saya berani jamin, yang mengikuti “Nge-Date-in Bonyok” ini pastilah ibu/ayah – anak yang memiliki hubungan emosional/batin yang sangat akrab. Kekompakan mereka mengikuti acara ini pasti karena kesamaan pandangan mereka tentang acara ini dan karena sehari-harinya mereka merupakan team work yang jempolan. Salut! Pasti banyak anak yang iri melihat mereka. Bukannya iri karena ingin tampil lalu dipilih pemuda keren, tetapi iri karena hubungannya dengan orangtuanya tidak seakrab para peserta itu.

Sekali lagi, jika umur saya sampai di 16 tahun mendatang, saya tidak akan membiarkan putra saya mengikuti tayangan serupa itu dan memilih pasangannya dengan cara seperti itu. Tetapi saya akan berusaha memiliki hubungan yang sangat akrab dengan anak saya, seakrab hubungan ibu-ibu di tayangan itu dengan anak-anak mereka. Dan saya akan berusaha agar anak saya memiliki karakter unggul dari pengaruh/pendidikan yang saya (sudah dan akan) berikan kepadanya ….
Insya Allah.

Makassar, 2 Maret 2006

No comments: