Sunday, February 18, 2007

Saat Superioitas Diekspresikan dengan Tepat

Saat ini anak saya, Affiq (4 tahun) tengah minum 2 jenis susu yang dicampur, yaitu susu coklat dan rasanya manis sekali dan untuk mengimbanginya supaya tidak terlalu manis, saya mencampurnya dengan susu instan merk lain yang kurang terasa manisnya. Susu coklatnya masih ada, yang harus dibeli kali ini adalah susu putihnya. Maka pada suatu hari, sepulang Affiq dari sekolah, saya dan suami mengajaknya ke toko grosir sebelum pulang ke rumah.

Thank God, sejak bersekolah di tahun ajaran ini, Affiq lebih ceriwis dan lebih komunikatif. Kalau dibawa ke mana-mana ia sering mengatur apa yang harus kami lakukan dan yang tidak boleh kami lakukan. Kalau ke toko ia sering mengatur apa yang harus kami beli, dan apa yang tidak boleh kami beli karena harganya yang “mahal”. Begitu pula kali ini, saat melihat susu putih kemasan 1 kg yang saya pilih, Affiq mulai bertingkah. Dengan super ngotot, ia berkata tidak menginginkan susu itu. Ia malah melirik merk susu lain, untuk usia 6 tahun ke atas sambil berkata bahwa susu putih itu “mahal”. Dengan tenang, saya dan papanya berusaha membujuknya dengan berbagai penjelasan yang masuk akal. Di wajahnya muncul mimik keras, ia tetap berkeras tidak mau susu itu.

Akhirnya saya dan suami capek membujuknya. Syukur, amarah tidak berhasil menghampiri kami, Affiq lalu kami tinggalkan di rak susu. Saya kemudian berjingkat-jingkat, bersembunyi pada jarak 5 meter darinya dan papanya menghilang sejauh 10 meter. Saya memperhatikan tindak-tanduknya, ia duduk diam-diam di rak paling bawah, tidak melakukan apa-apa. Sesekali matanya melihat-lihat berbagai macam merk susu di sekitarnya. Menit demi menit saya amati, ia belum juga mencari kami ! Sekitar 10 menit kemudian ia mulai celingak-celinguk. Akhirnya ia berdiri dan berjalan, menyeberang menuju rak di depannya. Ia kemudian menelusuri muatan rak itu dengan tatapannya. Pelan-pelan saya mendekati rak itu. Lalu saya mengintipnya. Mendengar suara langkah kaki, ia menoleh dan melihat saya, kami berdua bertatapan dan seketika itu juga saling melempar senyum. Tidak lama suami saya mendekati kami. Kami bertiga saling menatap dengan senyum. Suami saya lalu mengajak Affiq mengitari sejenak sekitar situ sementara saya menunggu di troley. Affiq menurut dengan ikhlas. Selanjutnya kami bertiga menuju kasir. Suami saya berucap, “Affiq tadi sedang mengetes Kita!”. Saya mengiyakan.

**********************

Beberapa minggu sebelum kejadian itu, di sebuah toko swalayan, Affiq ‘mengetes’ kami dengan kengototannya terhadap salah satu merk jelly yang berusaha kami hindari karena tidak mencantumkan label ‘HALAL’ pada kemasannya. Produk itu mengandung ‘EMULSIFIER’ tetapi tidak mendefinisikan dari mana emulsifier itu berasal. Kami ragu membelinya karena ternyata banyak produk yang menggunakan emulsifier yang berbahan dasar hewan yang diharamkan dalam Islam untuk dikonsumsi. Dan kelihatannya produk itu salah satu di antaranya. Segala bujuk rayu ditampik oleh Affiq, ia tetap berada di depan rak yang memajang produk itu dengan mimik ngotot sembari merengek halus. Hendak ditukar dengan apapun, ia menolak ¡

Akhirnya saya menyerah, saya mencoba menenangkan diri dengan melihat-lihat isi swalayan itu sambil berharap semoga suami saya berhasil membujuknya. Lima menit kemudian, suami saya dan Affiq menghampiri saya. Di bibir mereka berdua tersungging senyum tipis. Di dalam keranjang belanjaan di tangan suami saya terdapat sebungkus jelly berlabel ‘HALAL’ yang sedari tadi ditawarkan kepada Affiq tetapi sempat ditampiknya. Dengan heran saya bertanya pada suami saya, bagaimana caranya ia membujuk buah hati kami. Suami saya menjawab bahwa penjelasannya simpel saja, ia hanya mencoba menjelaskan bahwa sebagai muslim, kami harus memilih produk yang ada tanda ‘HALAL’-nya. Affiq yang sedang belajar mengeja lalu diajak oleh papanya untuk membaca tulisan ‘HALAL’ sekaligus mengenali huruf Arab-nya. Alhamdulillah, ia mau mengerti penjelasan papanya dan mau menerima merk lain sebagai pengganti.
**********************


Sebenarnya tidak sulit menghadapi Affiq. Kalau menghadapinya dengan sabar, pada akhirnya ia menurut. Tindakan nyebelin-nya seringkali hanyalah untuk mengetes reaksi kami atau untuk menyampaikan sesuatu dan jika tindakan-tindakan itu ditanggapi dengan kurang sabar atau kurang tepat, hasilnya pasti tidak bagus dan dengan sendirinya kami-orangtuanya biasanya merasakan penyesalan karena telah bertindak kurang bijak. Sementara pada hati buah hati kami, kemungkinan besar telah tertoreh luka yang entah kapan sembuhnya.

Betapa bahagianya jika rasa superior sebagai orangtua terekspresikan dengan tepat. Puas, dan bersyukur karena telah memperlakukan amanah-NYA dengan bijak. Dan yang pasti, happy ending juga bagi Affiq. Dia akhirnya tahu bahwa orangtuanya bisa juga memperlakukannya dengan bijak, meskipun tidak selalu. Iya, memang tidak selalu, kekhilafan sering terjadi atas nama arogansi yang terselubung superioritas. Tetapi kami selalu berusaha untuk memperlakukannya dengan bijak dan introspeksi diri bilamana arogansi itu muncul atas nama superioritas ..........

Makassar, 2005

1 comment:

Anonymous said...

ini mugniar temannya ocheng bukan?